Bioskop jadi tempat saya menikmati kesendirian.
Nonton sendiri.
Berusaha datang lebih awal dari jadwal nonton untuk antri depan loket supaya dapat tiket di bangku barisan C atau D.
Tak lupa beli air mineral dan popcorn caramel.
Menikmati keduanya sendiri. Menikmati film sendiri tanpa terganggu orang yang menjelaskan jalannya kisah.
Nonton sendiri.
Berusaha datang lebih awal dari jadwal nonton untuk antri depan loket supaya dapat tiket di bangku barisan C atau D.
Tak lupa beli air mineral dan popcorn caramel.
Menikmati keduanya sendiri. Menikmati film sendiri tanpa terganggu orang yang menjelaskan jalannya kisah.
Suatu malam, Sepulang kerja.
Kepenatan harus di lepas di ruangteather. Bioskop.
Kepenatan harus di lepas di ruangteather. Bioskop.
Tak perlu waktu lama mengatri di loket tiket.
Pengunjung puntak padat seperti biasa. Mungkin karena jam tayang terakhir dihari itu.
Pengunjung puntak padat seperti biasa. Mungkin karena jam tayang terakhir dihari itu.
Setelah dapat tiket, tak lupa beli popcorn caramel dan air mineral seolah sarana agar tak terlalu sepi karena sendiri.
“maaf, popcorn caramel habis.” ujar penjual
“ooh…” saya hanya menghela nafas panjang. Merasa ada partner yang hilang.
“saya popcorn yang biasa aja deh,..” ucap seseorang menyela dibelakang saya.
“maaf, saya yang sedang mengantri” sela saya seolah tak mau diserobot antrian.
“hanya menyampaikan saja, karena takut yang asin juga habis.”ucapnya segera.
Saya pun berlalu dari penjaja popcon setelah membayar.
Sekilas saya lihat pria yang tadi menyela di belakang saya. Sedikit kesal karena ia mengganggu waktu saya.
Lima menit mnjelang film di mulai. Saya masuk ke dalam theater setelah diarahkan oleh suara merdu pemberitahu theatre sejak dulu.
Duduk di barisan C tak jauh dari anak tangga. Posisi favorite.
Meski hanya ada sebotol air mineral tanpa popcorn caramel.
Duduk di barisan C tak jauh dari anak tangga. Posisi favorite.
Meski hanya ada sebotol air mineral tanpa popcorn caramel.
“eh, kita ketemu lagi” sapa seseorang datang duduk di sebelah saya.
“eh..” saya balas seadanya. Pria yang tadi menyela duduk disebelah saya.
Sesaat saya tercekat dengan parfume nya.
Sesuatu yang tak saya hirup ketika di depan penjaja popcorn tadi.
Sesuatu yang tak saya hirup ketika di depan penjaja popcorn tadi.
“popcorn asin?” ia menyodorkan box popcorn asin.
“No, thank..” sela saya segera.
“tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada caramel, asin pun jadi”ucap pria itu kembali
Saya terdiam. Hanya melirik kearahnya sesaat dengan senyum seadanya. Berharap ia tak memperbanyak kalimat lanjutan.
Film pun dimulai.
Bagi saya, permulaan film penting di simak agar tahu jalan kisah sejak awal.
“saya penggemar fanatik aktor utama di film ini. Semua film yang ia bintangi sudah saya tonton.” ucap pria itu lagi.
Kali ini ia mulai bicara dengan mendekatkan pundak dan kepalanya kearah saya bagai seorang pengamat film.
Parfume nya semakin mencekat kepala saya. Saya berusaha tetap tenang meski aroma parfume nya melenakan.
Kali ini ia mulai bicara dengan mendekatkan pundak dan kepalanya kearah saya bagai seorang pengamat film.
Parfume nya semakin mencekat kepala saya. Saya berusaha tetap tenang meski aroma parfume nya melenakan.
Film terus berjalan dan menarik perhatian saya meski sesekali saya melirik ke box popcorn asin milik pria itu. Tak hanya popcorn asin nya tetapi sesekali mata melihat kearah wajah nya. Beberapa kali kilat terang dari layar bioskop tampak jelas men-capture wajahnya dalam benak saya. Tampan.
“silakan.” ucap nya sembari menyodorkan box popcorn asin.
Seolah ia tahu bahwa saya memang ingin mengunyah sesuatu selain hanya menenggak air mineral.
Tak penting saya bertahan gengsi di ruang theater gelap dengan alur film yang sudah tak begitu saya tahu akibat terlalu sering curi pandang kearah box popcorn asin dan wajah pria di sebelah.
Film berakhir.
Satu persatu penonton meninggalkan ruangan theatre. Malam beranajak larut. Theatre beranjak tutup setelah pemutaran terakhirdi hari ini.
“terima kasih …” sela saya pada si Pria sebelum keluar theater, mencoba berbasa basi.
Ia hanya tersenyum. Manis sekali. Belum pernah saya lihat senyum semanis itu. Sungguh.
“oh, ya, kenalkan saya Andre…” ucap pria itu.
Kali ini Ia menyodorkan telapak tangannya yang lebih lebar dari saya.
Kali ini Ia menyodorkan telapak tangannya yang lebih lebar dari saya.
“oh, eh, hai..” ucap saya bingung tapi menyambut uluran tangannya.
Semacam rasa senang tapi bingung sesegera mungkin saya melepas tangan yang baru saja terjabat erat.
“saya menyukai film berjenis drama seperti tadi.” Ucapnya lagi seolah lupa bahwa saya belum menyebutkan nama saya. “…dan saya selalu nonton di jam segini, sepulang kerja.” Jelasnya lagi.
“bye…” ucap saya segera mengakhiri pertemuan dan masih tercekat bukan hanya karena parfume nya tapi karena sosoknya keseluruhan. Perfect.
“oh, oke, see you ya…” jawab pria itu sebelum akhirnya kamiberdua terpisah di lahan parkir.
See you ?. dua kata itu seperti penegasan bahwa ia berharapakan bertemu lagi. Tak beda dengan saya.
***
Sepulang kerja di hari berikutnya. Saya bersemangat menyelesaikan beragam tugas kantor. setelahnya bergegas menuju bioskop yang tak jauh dari kantor. Seolah ada hasratyang sangat besar yang mendorong saya untuk sesegeramungkin tiba di bioskop.
Tiba di bioskop. Saya melakukan ritual seperti biasa. Dan berharap kejadian kemarin berulang.
Ternyata tidak.
Saya menonton jenis film yang sama dengan kemarin.
Tapi tidak ada ia – sang pria yang saya temui kemarin malam.
Saya menoleh keseluruh sudut ruang theatre. Berharap melihat sang pria.
Berharap dia duduk di sebelah saya. Sangat berharap.
Berharap dia duduk di sebelah saya. Sangat berharap.
***
Dua hari berlalu.
Malam, sepulang kantor. Saya mendatangi bioskop.
Tak ada film berjenis drama seperti yang si Pria suka.
Tak masalah, siapa tahu saya melihat wujudnya di sekitar lobby theatre.Meski tak ada.
Tak ada film berjenis drama seperti yang si Pria suka.
Tak masalah, siapa tahu saya melihat wujudnya di sekitar lobby theatre.Meski tak ada.
***
Seminggu berlalu.
Masih berharap moment minggu lalu terjadi. Film berjenisdrama layaknya minggu lalu pun belum juga ada. Seminggusudah kenangan itu. Seminggu sudah aroma parfumemenghilang. Tak lagi ada jenis aroma parfume seperti itu.Bahkan saya mulai mengingat aroma tubuhnya, desah nafasnyaketika ia berucap dekat kearah saya. Senyum manisnya.Lengkap dengan susunan gigi putih cemerlang. Aah.. terbuatdari apakah senyum memikat nya itu.
Dua minggu berlalu. Nyaris setiap malam dalam minggu kedua ini saya mengunjungi bioskop.
Meski harus pulang dengan perasaan kecewa karena tak bertemu pria bahkan nyaris tak tahu film apa yang saya tonton karena tak fokus ke film nya.
Meski harus pulang dengan perasaan kecewa karena tak bertemu pria bahkan nyaris tak tahu film apa yang saya tonton karena tak fokus ke film nya.
Masuk minggu ketiga. Suasana kantor yang terus beranjak.Pekerjaan yang terus meningkat. Tugas tugas deadline yang selalu menghadang lengkap dengan team work yang menantang.
Tapi fikiran dan imajinasi saya seolah tak lepas dari pria yangtiga minggu lalu menyelinap masuk dalam relung hidup saya.
Tapi fikiran dan imajinasi saya seolah tak lepas dari pria yangtiga minggu lalu menyelinap masuk dalam relung hidup saya.
Hari pun terus berganti. Sebulan genap terlewati. Banyak film drama favorite si Pria tayang di bioskop.
Semakin saya antusias nonton drama di bioskop, semakin saya tak menemukan sosoknya.
Mungkin ia kesal karena saya bersikap acuh pada nya kala itu. Atau dia merasa malu untuk bertemu saya lagi ?,
atau dia menukar jadwal nonton bioskop tak saat sepulang kerja?.
Atau ia sedang tugas keluar kota hingga absen datang kebioskop ?.
atau sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya ?.kecelakaan ?, bencana ?, atau apalah itu. Saya merasa bersalah karena diam saja kala itu.
Mustinya saya bersikap ramah dan membalas ucapannya bukan malah terdiam karena pesona nyasecara fisik.
Harusnya saya juga melontarkan pertanyaan padanya.
Harusnya kami bertukar nomor handphone atau PIN BBM hingga memungkinkan kami menjalin contact selanjutnya.
Atau harusnya malam itu – seusai nonton bioskop, kami berbincang sejenak di café dan berkisah banyak hal.
Dan harusnya ia tahunamaku, Dharma.
Semakin saya antusias nonton drama di bioskop, semakin saya tak menemukan sosoknya.
Mungkin ia kesal karena saya bersikap acuh pada nya kala itu. Atau dia merasa malu untuk bertemu saya lagi ?,
atau dia menukar jadwal nonton bioskop tak saat sepulang kerja?.
Atau ia sedang tugas keluar kota hingga absen datang kebioskop ?.
atau sesuatu yang buruk terjadi pada dirinya ?.kecelakaan ?, bencana ?, atau apalah itu. Saya merasa bersalah karena diam saja kala itu.
Mustinya saya bersikap ramah dan membalas ucapannya bukan malah terdiam karena pesona nyasecara fisik.
Harusnya saya juga melontarkan pertanyaan padanya.
Harusnya kami bertukar nomor handphone atau PIN BBM hingga memungkinkan kami menjalin contact selanjutnya.
Atau harusnya malam itu – seusai nonton bioskop, kami berbincang sejenak di café dan berkisah banyak hal.
Dan harusnya ia tahunamaku, Dharma.
0 comments :
Posting Komentar