Sunset di Pantai Angsana |
Suara tangis anak bungsu Ibu
Warung membangunkan saya dari tidur. Pukul 4 pagi terlihat pada jam
dinding. Saya masih berupaya keras mengumpulkan kekuatan untuk beranjak dari
tidur. Masih lelah rasanya untuk memulai hari di jam yang biasanya saya masih
tertidur pulas. Tapi rasa malas kemudian hilang ketika mata yang masih berupaya
melihat sempurna menangkap kegiatan si Ibu Warung yang telah berbenah
menyiapkan warung dan beragam dagangannya.
"Met Pagi, mas" sapa
si Ibu Warung saat melihat saya telah beranjak dari tidur.
Malu rasanya jika saya masih
bermalas-malasan buat bangun tidur sedangkan tuan rumah sudah bergegas mengais
rezeki sejak pagi.
Saya kemudian izin pada Ibu Warung untuk jalan sekitar Pantai, setelah menunaikan Shalat subuh dan sejenak bercengkrama pada anak Ibu Warung yang masih SD.
Semalam saya tak begitu melihat
wujud pantai Angsana karena hari telah gelap.
Saya menyusuri bibir
Pantai yang cukup tenang pagi itu. Beberapa pengunjung lain
bertaburan ke bibir pantai. Beragam aktivitas mereka lakukan. Sesaat saya
takjub dengan gugusan awan yang telah nampak gagah di pagi buta. Lebih berdecak
kagum lagi ketika melihat Matahari perlahan lahan menyembulkan semburat
keemasannya. Tak hanya saya, beberapa pengunjung juga tampak bahagia
mengabadikan moment sunrise kala itu.
Melihat beberapa orang Meng-capture
dengan kamera profesional membuat saya makin niat buat terus nabung agar dapat
membeli kamera DSLR itu ahahahahhaha.
Puas mengabadikan moment sunrise,
landscape Pantai dan beragam keindahan akan anugerah Tuhan, saya kembali
menyusuri pinggiran Pantai. Melihat lihat lebih dekat beragam object yang semalam hanya saya lihat
bayangannya saja.
Sebelum tiba di Angsana. Tak
banyak informasi yang saya dapat dari media online tentang Pantai Angsana.
Bahkan beberapa situs yang berhubungan dengan Kalimantan Selatan pun tidak
begitu detail bertutur tentang Pantai Angsana. Tapi uniknya, ketika saya tanya
ke Masyarakat tentang object wisata, pada umum nya mereka menjawab : Pantai
Angsana. Itulah mengapa saya jadi penasaran Ingin tahu secara langsung pantai
Angsana.
Objek Wisata Pantai Angsana
Bahari - begitu nama lokasi yang tertera di gapura depan pinggir jalan yang
saya baca. Terletak di Desa Angsana - kecamatan Angsana - kabupaten Tanah Bumbu
- Kalimantan Selatan. Jarak tempuh dari pusat Kota ke Pantai Angsana 5 jam.
Kendaraan umum dari pusat Kota ke Batu Licin - Ibukota Kabupaten Tanah Bumbu
pun lancar. Taksi Kol selalu ada. Selain Pantai Angsana, saya juga dapat
rekomendasi ke Pantai Samber Gelap di bagian kabupaten Kota Baru. Dari Batu
Licin - tujuan akhir Taksi Kol yang saya naiki, harus menyeberang dengan Kapal
ferry menuju kabupaten Kota Baru tersebut baru ke bagian Pantai Samber Gelap.
Ingin rasanya suatu saat nanti mencoba ke kabupaten Kota Baru.
Pantai Angsana, bagi Masyarakat
sekitar merupakan object wisata pantai yang sudah termasuk lama. Posisi
pantai yang langsung bersainggungan dengan laut lepas membuat butiran pasir di
pantai Angsana mayoritas berwarna kehitaman. Tapi ada pula beberapa bagian yang
masih berpasir putih. Memang jarak masuk kebagian dalam Pantai dari jalan utama
Desa cukup jauh. Saya sarankan ada baiknya membawa kendaraan pribadi. Karena
tidak adanya angkutan umum kebagian dalam pantai. Tapi Jika Ingin mencoba nekat
seperti saya yaa silakan saja, heheeheh.
Bicara fasilitas, pantai Angsana
cukup baik. Meski ketersediaan lampu jalan dan lampu sekitar kawasan pantai tak
ada, termasuk akses jalan yang masih sederhana setidaknya tata kelola pantai
cukup memadai. Terlihat ada banyak bak sampah dengan klasifikasi sampah basah
dan sampah kering. Lalu fasilitas umum seperti aula, pondokan, kamar
mandi/kamar bilas, Penginapan beragam tarif juga ada di pantai Angsana. Bahkan
pos yang mengusung konsep pelestarian terumbu karang juga ada disini. Di pantai
Angsana pun pengunjung bisa menikmati fasilitas Banana Boat dengan harga
terjangkau atau Melihat terumbu karang, ber-Snorkeling
dengan tarif Rp.350.000 perkapal isi 10
orang.
Hari semakin terang, saya
kemudian duduk di sebuah bangku yang berada di depan warung yang menjajakan
beragam panganan khas Banjarmasin. Sayang di lewat kan saya pun mencicipi
beberapa kue dan memesan Kopi. Sarapan yang sangat berkelas bagi saya. Hidangan
khas daerah berpadu kopi Hitam pekat nan hangat plus view pantai kala
landai sempurna dalam deburan ombak dan desau angin pagi. Aahhh.... Nikmat Tuhan yang mana lagi yang saya dustakan. Hanya
saja saya cukup terganggu dengan banyak nya Kapal Kapal kecil bertebaran tak
beraturan di sepanjang Pantai. Alangkah Indahnya jika Kapal Kapal kecil
itu di jajar dalam satu area dermaga. Lebih rapih dipandang mata.
Setelah berlama lama menikmati
suasana pinggir pantai saya kembali ke Ibu Warung dimana ransel saya masih di
titip di sana.
"Mas Indra, ayoo sarapan
dulu..." Ujar si Ibu Warung.
"Tadi Sudah makan kue kue
di tepi pantai bu..." saya berbasa-basi.
Selain memang saya telah
sarapan, saya juga harus menghemat uang untuk makan siang dan ongkos pulang.
"Tadi kue, ini nasi Kuning
khas Banjarmasin lho..."
Aahhh si Ibu tampaknya tau benar cara merayu saya. Cukup tergoda
dengan nasi Kuning yang aroma nya mulai tercium.
"Ayo mas Indra, sarapan
bareng." Ucap Anak si Ibu Warung yang masih SMP.
Tak baik rasanya jika menolak
ajakan tulus si Ibu.
Tak apalah saya harus bayar,
paling juga habis 10.000 untuk sepiring nasi kuning. Lagi lagi saya
kefikiran persediaan uang di dompet.!
Sarapan semakin lengkap ketika
anak anak si Ibu Warung bergabung. Anak si Ibu yang pertama hanya Lulus SMA
sejak 3 tahun lalu. Tak melanjutkan pendidikan karena masalah biaya. Dan si
Sulung memilih untuk jadi nelayan. Bergabung bersama teman teman sebaya nya
yang juga bernasib sama tak bisa melanjutkan pendidikan setelah SMA, menjadi
nelayan harian di laut lepas. Sesekali saya memandang kagum pada sosok anak
Sulung Ibu Warung. Tak banyak remaja sekuat ia. Nampak otot otot lengannya
berisi bagai atlet renang. Tentu Ia pandai berenang dan berani menantang
lautan demi membantu sang Ibu. Ia rela masa remaja yang musti nya seperti
kebanyakan remaja kini harus hilang berganti fase hidup penuh perjuangan.
Tangguhnya Ia melakoni hidup. Sungguh lebih tangguh dari saya yang saat
ini masih mencemaskan tentang persediaan uang dalam dompet.
"Saya duluan mas, Sudah di
tunggu teman teman melaut." Ucap Anak Sulung pada saya setelah dengan cepat
menghabiskan menu sarapan.
Terlihat oleh saya Ia berpamitan
pada sang Ibu dengan tak lupa mencium tangan si Ibu. Meminta Restu. Ada setitik
air menggenang di pelupuk mata melihat adegan Ibu dan Anak di depan saya.
Jadi ingat pada almarhumah Ibu saya. Sekuat tenaga saya menyembunyikan rasa
satir yang bergejolak di dada. Malu di lihat 3 Anak Ibu Warung di depan saya
yang masih SMP, SD dan Balita.
Hari semakin beranjak siang.
Pukul 11.00 WIT saya berpamitan dengan Ibu Warung. Berterima kasih atas segala
kebaikannya yang sungguh sangat membantu saya. Terlebih Ia pun meng-gratiskan hidangan
sarapan tadi. Sungguh luar biasa baiknya si Ibu Warung. Saya yakin, karena
kebaikannya itu lah Tuhan melancarkan hidupnya, bisa survive dalam kehidupan menjadi single
mother dan mengurus 4 anak dengan hanya berdagang kelontongan. Salut.!
Beranjak pergi meninggalkan
Warung si Ibu yang baik tak lantas membuat saya beranjak dari lokasi Pantai
Angsana. Saya hanya tak mau berlama lama di Warung Ibu yang baik itu. Saya
masih Ingin menyaksikan Matahari terbenam dari pantai Angsana. Dari kejauhan,
disudut pantai saya lihat sekumpulan orang sedang melakukan kegiatan bersih
bersih pantai, dengan memungut sampah yang berserakan penuh suka cita. Nampak
pula ada seorang yang memandu memakai TOA memberi himbauan pada pengunjung
untuk buang sampah pada tempatnya. Saya kemudian tertarik untuk mendekat ke
arah sekumpulan penggiat bersih bersih Pantai itu, meski akhirnya niat mendekat
saya urungkan. Karena ternyata sekumpulan penggiat bersih bersih pantai
itu adalah para Waria yang semalam tampil di panggung Musik
Dangdut. Siang ini mereka tampil tanpa make
up dan busana blink blink super
seksi. Lebih natural layaknya kodrat. Berbeda dengan sempurnanya tampilan
artistik semalam. Tapi saya kagum dengan upaya mereka. Di balik ke-glamour-an khas mereka semalam ada pula
sisi humanis yang mereka lakukan buat Pantai ini. Yang belum tentu pihak lain
terpikirkan.
Cukup puas saya berkeliling
seorang diri di sepanjang bibir pantai. Cukuplah bagi saya mengetahui beberapa
bagian pantai yang menarik. Meski sesungguhnya ingin berlama lama di sini.
Naluri cinta pantai sangat kuat dalam diri ini. Sesekali saya mengabadikan diri
dengan meminta bantuan pengunjung atau warga pantai. Tongsis telah habis masa
berganti TongBro (Tolong Bro'!).
Sempat terkantuk kantuk karna
udara pantai yang sejuk, akhirnya Tuhan menghadirkan hamparan awan dan langit
nan indah dengan gerak matahari yang beranjak gemulai keperaduan. Indah benar
Sunset petang itu.
Pukul 18.00 WIT, Saya bertekad
kembali ke gerbang depan agar bisa mencegat Taksi Kol. Saya putuskan untuk
berjalan sedikit kearah depan dengan berharap ada tumpangan sampai jalan besar.
Hari beranjak gelap. Ada rasa ragu untuk jalan sendiri melalui gelapnya hutan
sawit. Jika saja yang di lewati rumah warga saya tak keberatan meski jarak 10
kilo sekalipun. Tapi jalan sendiri dalam kebun sawit sepertinya saya tidak
setegar pendekar dalam film laga. Apalah diri ini. hanya punya nyali berani
saja sebagai modal berpetualang. Tak bisa berenang, tak bisa bawa motor besar
apalagi pandai bela diri. Hal hal itu tak ada dalam diri saya. Plus tampilan fisik
yang tak akan melawan jika di hadang penjahat. Terbayang suasana hutan sawit.
Tapi kaki terus melangkah meninggalkan keramaian pantai Angsana. Sesekali saya
melihat ke belakang. Ada ragu apa saya teruskan berjalan atau tetap menunggu
tumpangan lewat. Tapi tak ada satu pun kendaraan yang bisa saya stop untuk di
tumpangi. Hari makin malam. Dan saya makin ketakutan. Takut jalan sendiri dalam
hamparan hutan sawit yang rindang. Dalam langkah demi langkah memupuk ke
beranian, tiba tiba ada sosok bapak tua membawa motor bebek reot dengan
tumpukan 2 karung yang di ikat di bagian belakang motor.
"kemana mas..?" Tanya
si bapak memelankan motornya.
"Gerbang depan Pak. Mau
naik Taksi Kol."
"Boleh numpang Pak?" Tak
ada lagi gengsi pada diri ini. Meski saya juga bingung mau duduk dimana dengan
kondisi motor si bapak yang padat bagian belakang.
"Mas naik diatas karung.
Atau pangku karung?!" Si bapak beri 2 opsi tanda Ia setuju beri tumpangan.
Tanpa fikir panjang. Dengan sigap
saya masukkan HP kedalam tas ransel. Kencangkan ransel dan kuatkan mental untuk
duduk di motor si bapak sambil memangku 2 karung isi jagung. Pedas paha
memangku 2 karung jagung sepanjang 7 kilo perjalanan dengan tekstur jalan tanah
lembab membelah hutan sawit. Tuhan selalu beri jalan keluar. Suasana gelap
sepanjang dalam hutan sawit sampai di pinggir jalan persis di gerbang masuk pantai Angsana, saya harus menunggu Taksi Kol datang setelah berterima kasih
pada pak tani yang beri tumpangan dengan sensasi yang saya rasa luar biasa. Sampai
lebab paha!. Tak pernah terjadi sebelumnya.
Tak begitu lama saya menunggu
Taksi Kol. Perjalanan lancar meninggalkan Angsana dan terus melaju ke terminal
Liang Anggang. Meski belum tiba di pusat Kota dan tiba di rumah kembali tapi sepanjang jalan pulang di dalam Taksi Kol saya berucap syukur atas
apa yang saya alami sejak kemarin dalam trip nekat seorang diri. Bukan sekali
ini saya trip seorang diri tapi dengan kondisi yang mengharuskan saya prihatin
baru kali ini terjadi. Tapi saya senang karena saya dapat banyak pembelajaran.
Bertemu penduduk asli yang sungguh baik budi dan sangat menginspirasi. Sepatutnya
saya bersyukur atas apa yang ada dalam hidup saya. Saya dapat bagian jauh lebih
baik dari Tuhan dibanding beberapa sosok yang saya temui di Pantai
Angsana.
Traveling memang mengajarkan banyak hal pada saya. Menempa diri
dalam keterbatasan fasilitas, mengetahui kekuatan dan karakter personal hingga
menyadari bahwa bagaimanapun dan kondisi seperti apapun tetaplah harus bersyukur
maka Tuhan akan menambah nikmat hidup pada orang orang yang bersyukur.
Ah, indraaaaa...
BalasHapusAku spechless bacanya. Itulah yg disebut orang bahwa terkadang yang memperkaya itu bukan seberapa jauh kaki melangkah namun seberapa banyak pelajaran yang kita dapat dalam perjalanan.
Ah....
setuju mba Donna ...heheheh..... itulah kenapa aku suka traveling karena pasti akan dapet banyak hikmah kehidupan.
BalasHapusLuar biasa ya ibu pemilik warung itu. Di tengah kesempitan ekonominya masih juga bisa membantu pengelana...Dan keberanianmu berjalan dihutan sawit sendirian...ckckck....sebelas jempol Mas ...
BalasHapuskeren view nya
BalasHapus