Matanya tampak redup meski senyum ramahnya mengembang
menyambut saya kala berpapasan pagi itu. Sosok Kakek yang bersahabat pada pengunjung
seperti saya.
Setelah beberapa saat berbasa basi, saya lalu mengenalnya. Ta
Lin Jo – begitu ia menyampaikan nama. Lahir dan besar di gang sempit yang kini makin terhimpit di tengah hiruk
pikuk perkotaan.
“dulu tempat ini luas, sebelum di sekat dan terjadi perombakan pada gedung gedung
bagian depan jalan utama di tahun 70 an.” Ujar pak Ta Lin Jo memulai kisahnya.
Pak Ta Lin Jo di depan rumah bedengannya. |
gang sempit dari depan kantor Telkom Bambu Kuning menuju bagian dalam |
kondisi 6 rumah bedeng di dalam gang Buntu |
Pak Ta Lin Jo yang merupakan peranakan tionghua itu berkisah
bahwa dahulu tempat yang ia huni adalah sebuah pusat keramaian di Bandar Lampung.
Bagaimana tidak, beberapa bekas gedung kokoh di sekitar rumah yang kini ia tempati
itu dulunya adalah hotel hotel yang ramai di kunjungi banyak orang. Bahkan
hotel hotel itu konon telah ada sejak jaman belanda.
“ketika saya kecil, orang tua saya sering cerita betapa
ramainya kawasan ini.” Ucap pak tua mengurai kembali kisahnya.
kondisi aktivitas warga penghuni Gang Buntu |
Bangunan Kayu yang dahulu Hotel dari bagian dalam gang ke arah Luar. |
Gang sempit yang terletak persis di depan kantor Telkom dekat
gang masuk pasar Bambu Kuning itu seolah
menjadi saksi bisu kejayaan tempo dulu. Tumpukan seng dan bangunan lapuk memang
nampak dari luar gang. Sekilas tak ada yang istimewa. Di bagian dalam dari jalan utama hanya ada 6
rumah kecil berbentuk bedengan. Masa kejayaan lampau itu terlihat jelas dari
beberapa bangunan yang berada di sebelahnya. Pada bagian depan rumah pak Ta Lin
Jo misalnya, masih berdiri kokoh bangunan yang berupa kayu kayu tersusun rapih meski
terlihat rapuh yang dulunya adalah hotel bernama Hotel Dibinhin, lalu pada
bagian depan yang kini jadi toko toko pakaian dan kelontongan dulu adalah
penginapan penginapan yang banyak di datangi pengunjung terlebih pada bagian
sisi timur rumah pak Ta Lin Jo adalah sekat belakang gedung Lampung Plaza yang
terkenal di jamannya.
Melihat bangunan bangunan tua di sekitar rumah pak Ta Lin Jo
yang juga tua itu saya membayangkan betapa meriahnya suasana kala itu. Bagaimana
tidak di tahun 60 dan 70 an bangunan bangunan itu telah kokoh berdiri dengan
aktivitas perkembangan zaman masa itu.
“bangunan di sekitar rumah ini sudah ada dan berdiri jauh
sebelum saya lahir, mas …” sambung pak Ta Lin Jo yang kini berusia 84 tahun
itu.
“dulu ada bangunan SR (Sekolah
Rakyat) di depan jalan itu”. Ucapnya menunjuk kearah jalan masuk ke bagian depan pasar Bambu Kuning.
“dulu juga ada banyak kantor kantor belanda. Sekarang jadi
pertokoan di pasar tengah.” Ucapnya sesekali menengadahkan kepala seolah
mengingat-ingat hal hal yang ia alami kala itu.
bangunan tinggi beratap kayu yang dulunya Hotel Megah |
masih kokoh meski nampak rapuh |
Berbincang dengan pak Ta Lin Jo seolah mendengar penuturan
langsung dari pelaku masa kehidupan tempo dulu. Bagai mendengar rangkain
dongeng tetapi nyata terjadi. Selama berbincang, mata saya tak pernah luput
dari kekaguman akan bangunan menjulang
yang menghimpit rumah dengan kisah kisah
perjuangan kehidupan sejak dulu hingga kini yang pak Ta Lin Jo lakoni bersama
istrinya. Ketiga anak beliau kini telah
merantau bekerja di luar kota. Mereka tinggal bersama 5 keluarga lainnya di
rumah yang bersebelahan. Beberapa kepala keluarga di sekitar rumah pak Ta Lin
Jo berdagang di areal pasar tengah dan toko toko kelontongan di Bambu Kuning. Saya juga melihat aktvitas ibu menjemur pakaian dan beberapa wanita paruh
baya berjemur di tengah panasnya matahari pagi kala itu. Menurut pak Ta Lin Jo,
semua yang tinggal di bedengan bersebelahan dengannya itu telah menetap sejak
tahun 70an, ketika sekitaran Bambu Kuning dan Simpur berbenah dengan
pembangunan gedung gedung megah. “dulu
Plaza Lampung itu adalah Gedung tertinggi di sini.” Kenangnya sembari menunjukkan
punggung gedung yang tak jauh dari rumah yang membuat jalan gang rumah bedengan
itu di sebut gang buntu.
Sentuhan sejarah di pagi jumat yang justru saya peroleh dari
perbincangan singkat dengan sosok tua yang tinggal di gang buntu yang terhimpit
keramaian perkotaan. Saya pribadi nyaris tak tahu jika di dalam gang sempit itu
hidup sosok sosok lawas pelaku kehidupan tempo dulu. Saya pun tak tahu ada
banyak bangunan tua menarik di sekitar bahkan di dalam gang buntu jika saja Mas Puji –
seorang rekan menyampaikan pada saya beberapa hari sebelumnya.
Bagi saya, menjalin perbincangan dengan mereka yang mengalami
langsung kehidupan tempo dulu bagai mengurai sejarah sebuah kawasan. Tak sia
sia rasanya saya berjalan pagi itu di pasar tengah menyusur jalan setapak dan
gang gang sempit guna melihat langsung bagian dalam dari rapatnya gedung gedung
tinggi pertokoan yang ternyata menyimpan banyak hunian warga dengan kisah
kejayaan di zamannya.
0 comments :
Posting Komentar