Pemukiman Penduduk di Gunung Sari dari Kejauhan |
Sebagai
bagian dari penduduk perkotaan terkadang merasa bosan dengan ritme pekerjaan
yang cenderung monoton. Aktivitas rutin dari pagi hingga sore pada hari dan jam
kerja yang terkadang membawa pada titik
jemu. Ingin rasanya ‘melarikan diri’
sejenak kesebuah kawasan yang tak pernah saya kunjungi sebelumnya.
Hari
masih pagi kala itu. Pukul 08.30 WIB. Setelah absen dan izin untuk keluar
sejenak diperkenankan atasan, saya
langsung berniat untuk me-rileksasi diri kesebuah perbukitan yang selalu saya
lewati setiap hari kala berangkat kantor tetapi belum pernah saya datangi
langsung.
Gunung
Sari. Sebuah kawasan yang padat penduduk di Kota Bandar Lampung.
Gunung
Sari adalah pemukiman warga yang benar
benar berada di atas gunung. Sejak jaman kolonial Belanda kawasan ini telah
ada. Bermula dari beberapa rumah di bagian lereng, hingga ke bagian badan
sampai puncak gunung kini dipadati oleh rumah rumah penduduk.
Kondisi jalan di bagian lereng Gunung Sari |
Contoh Jalan undakan pejalan kaki bersanding dengan Jalan untuk Motor Warga |
Undakan tangga menuju bagian Puncak Gunung Sari |
Pagi
itu saya masuk ke pemukiman Gunung Sari yang merupakan sebuah kelurahan dalam
kecamatan Enggal melalui gang Taqwa persis di samping masjid Taqwa. Sebenarnya ada
banyak jalan sebagai akses masuk ke bagian atas Gunung Sari selain gang Taqwa. Dengan
gang sempit berundak dan jalan setapak, saya menuju bagian atas dari Gunung
Sari. Terlihat beberapa warga memarkirkan kendaraan bermotor di bagian rumah di
bagian bawah dari kawasan Gunung Sari, atau memarkirkan begitu saja di pinggir
jalan. Karena akses kendaraan tidak sampai puncak dan tak semua rumah memiliki
halaman. Di bagian bawah dari kawasan
Gunung Sari adalah wilayah ramai dan padat aktivitas. Karena berdekatan dengan
Stasiun Kereta Api Tanjungkarang, bangunan pusat perbelanjaan Ramayana dan
pasar tengah, Masjid Taqwa, Gereja, Plaza Pos, Bambu Kuning Square, hingga ragam Losmen dan penginapan murah dan jenis pertokoan
lainnya.
Ibu Damila dan aktivitasnya |
Pak Loso dan ayam ayam kecil peliharaannya |
View yang saya dapat dari pekerangan sempit rumah Ibu Damila dan Pak Loso |
Menaiki
anak tangga yang banyak membawa saya melalui rumah rumah berukuran kecil dan
saling bersinggungan satu sama lain. Beragam aktivitas warga di pagi hari mudah
sekali saya simak saat menaiki anak tangga. Terlihat ibu ibu dengan aktivitas
mencuci pakaian hingga masak. Semakin berada di bagian atas saya semakin
tertarik melihat dari dekat ragam kegiatan warga kala pagi.
Saya
putuskan menghentikan langkah di sebuah warung yang masih menyisakan beberapa
panganan khas sarapan pagi setelah lelah menaiki anak tangga.
“Silakan
mas. Tapi tinggal nasi uduk.” ujar ibu tua penjaja hidangan sarapan dengan
senyum ramah menyambut saya yang menghentikan langkah tepat di depan
dagangannya.
Sesaat
saya iba melihat sang ibu. Ia masih berjualan dalam kondisi yang cukup renta.
“ sekalian
buatkan Kopi ya Bu ?” pinta saya.
“
oh, ia, … sebentar ya …” ujar ibu tua
merapihkan beberapa piring.
Ada
sosok bapak tua di depan saya. Sesekali ia tersenyum. Sambil menebar gabah
kering pada ayam peliharaannya.
“
Ayam nya banyak ya Pak..? ucap saya berbasa-basi ke arah bapak.
Si Bapak
tertawa cukup lebar. Tak ada satu pun gigi terlihat.
“
Ayam Ayam ini bapak jual ?. Tanya saya kembali sambil mendekatkan badan kearah
si bapak Tua.
“Mas,
Bapak tak mendengar apa apa mas.” Ujar Ibu tua menghampiri saya dengan
secangkir kopi panas yang baru di seduh.
“
Suami saya sudah gak bisa denger apa apa mas. Tuli.!” Ucap si Ibu Tua dekat
kearah saya.
Saya
hanya menyeringai, tersenyum pahit sembari menatap lekat kearah bapak tua yang
asik dengan ayam ayam peliharaannya.
“
Ibu Bapak, punya putra putri ?” Tanya saya.
“
Anak kami ada 10 mas, tapi sekarang sudah tidak tinggal di sini….” Ibu Tua
menatap suaminya. Ada setitik air menggenang di sudut mata si Ibu.
Tak
berani saya bertanya lebih lanjut. Sampai si Ibu berkenan melanjutkan sendiri
kisahnya.
Damila.
Demikian
nama Ibu tua yang setiap pagi berjualan nasi uduk dan berlanjut menampi beras
pada siang hingga sore. Begitulah aktivitas hariannya selain rutinitas mencuci
dan memasak serta mengurus suami yang sudah tak lagi mendengar.
Ibu
Damila yang merupakan pendatang dari pulau Jawa dinikahi pak Loso yang
merupakan pria kelahiran Lampung – di masa resesi pergantian presiden Soekarno
ke presiden Soeharto kala itu. Perpindahan Pak Loso dan ibu Damila di Gunung
Sari saat itu belumlah seramai kini. Kisaran tahun 1960an Ibu Damila mengenang
suasana Gunung Sari yang tidak terlalu padat seperti sekarang.
Kondisi Rumah Rumah warga di Gunung Sari |
Rumah rumah warga yang berdekatan di Guung Sari |
Jalan setapak antar rumah warga di Gunung Sari |
Dari
teras rumah Ibu Damila saya bisa menyaksikan hamparan bukit hijau yang juga
ragam bangunan. Sambil menyeruput kopi,
saya menyimak penuturan ibu Damila yang polos.
Saya menangkap betapa ia menikmati hari hari nya sebagai warga di
pemukiman Gunung Sari yang sangat padat kini, meski tak ada satu pun anak yang ia dan suami
besarkan tinggal bersamanya. 10 anak yang ia miliki kini pergi merantau keluar
kota bahkan yang bungsu bekerja di Malaysia.
Berbincang
dengan Ibu Damila dan menyaksikan aktivitas pak Loso membuat saya memahami
kekuatan cinta dua sosok tua renta dalam mengarungi kehidupan masa kini.
Setelah
cukup lama berbincang, saya kemudian pamit pada ibu Damila dan pak Loso untuk
melanjutkan penyusuran bagian lain di puncak Gunung Sari.
Salah Satu Rumah yang di bangun sejak 1970an di kawasan puncak Gunung Sari |
Papan Informasi Warga |
Gunung
Sari tak hanya wilayah pemukiman padat penduduk dengan jumlah lebih dari 3.500
jiwa saja. Tetapi juga ribuan kisah menyertainya. Dengan luas wilayah 20
hektare, Gunung Sari bagai sebuah gugusan super padat di tengah perkotaan. Bagian
perkotaan yang menyimpan ragam kisah begitupun kehidupan warganya. Gunung Sari yang juga merupakan bagian lawas
dari hiruk pikuk nya masyarakat perkotaan Bandar Lampung yang terus tumbuh seiring dengan kemajuan jaman
menjadikan Gunung Sari semakin padat. Jenis
gunung berbatu hitam yang ditakutkan akan mengalami longsor atau runtuh itupun
seolah semakin kokoh dengan menampung banyaknya rumah rumah yang bersebelahan dengan tipe bangunan acak tak tertata dan
pertumbuhan jumlah penduduk yang semakin banyak.
Losmen Gunung Sari yang Jaya dimasanya |
Pintu Losmen |
Mengingat
sebuah perbincangan dengan rekan rekan di Kedai Kopi beberapa waktu lalu,
seorang rekan – Mas Teguh pernah berharap jika saja gugusan rumah rumah yang dianggap
sebagain orang kumuh itu di tata kelola apik dengan sentuhan warna warni bukan
tidak mungkin dapat jadi daya tarik wisata dan kunjungan napak tilas sejarah
kehidupan perkotaan tempo dulu. Layaknya daya tarik rumah rumah padat penduduk
di perbukitan di kawasan kawasan Eropa, Gunung Sari tak kalah menariknya.
Hingga lelah saya menyisir beberapa bagian dari Gunung Sari pun terhibur oleh
keramahan warga yang berpapasan dan yang saya temui sembari melihat bentangan
perbukitan di kejauhan dan hamparan rumah penduduk beberapa bagian Bandar
Lampung.
Puncak pemikuman Warga di Gunung Sari nampak dari kejauhan (Plaza Pos) |
Si Om ini travel blogger keren banget deh. Eksplorasi kampung saja bisa jadi tulisan menarik
BalasHapushey Mba ku..... kan mba Evi yang ngajari.... aku ini Pemula yang masih belajar pada kalian kalian..... beruntung aku mengenal orang orang yang supports makasih yah genk.!... mba Donna Mb Evi dan Halim dan mas Yopie dan Mas Teguh dan lainnya....heheheheh
BalasHapuswah sudut" yang menggida di jelajahi mas amntap abiss dah....
BalasHapust4 gwe maen tuh. .sip bgt critanya.
BalasHapuswahhhh....ada losmen itu tuh....😁😛
BalasHapus