Kepidahannya
sebagai tenaga pengajar dari Lampung Utara ke Sekolah Dasar Negeri 5 Karang Anyar – Lampung Selatan
bagai babak baru dalam lembar kehidupannya. Tak hanya urusan karier, tetapi
juga urusan rumah tangga. Dua tahun membina hubungan baru dengan suami kedua
setelah mahligai perkawinan yang di bangun selama 11 tahun dengan suami pertama
harus kandas, bagai menjadi babak baru bagi kehidupannya. Tahun 1995 saat itu. Bersyukur kepindahannya sebagai
guru di SDN 5 Karang Anyar di sambut baik oleh pihak sekolah. Menempati sebuah bangunan
rumah sederhana yang dulunya adalah gudang penyimpanan perlengkapan olah raga terletak
tepat di samping gedung sekolah sebagai
rumah tinggal. Memudahkan ia melaksanakan aktivitas mengajar sekaligus dekat
dengan anak anak yang masih belia.
Sosok
wanita diatas adalah Ibu saya. Yulyati namanya.
Sosok
tegar dan tegas tak hanya bagi dirinya tetapi bagi anak anaknya.
Saya
adalah anak pertama dari enam bersaudara. Kepindahan Ibu, Suami kedua dan adik
adik saya bersamaan ketika saya masuk pendidikan menengah pertama. Saya
tertahan di Lampung Utara karena sebuah keharusan dari Ibu yang beranggapan
tinggal bersama Uak – Kakaknya Ibu lebih baik ketimbang ikut bersamanya di
penempatan tugas baru. Tak begitu saya mengerti kala itu. Tapi lambat laun,
saya memahami kebijakan Ibu.
Saya
punya adik perempuan satu satunya yang sangat dekat dengan saya sejak kecil – anak Ibu nomor dua setelah saya, justru menjadi
sosok tegar dan penuh dedikasi bagi Ibu. Ia, yang sepulang sekolah senantiasa
siap menjaga keempat adik yang kala itu
masih belia dan lelaki semua. Sepulang sekolah, adik perempuan saya – Dini,
mengasuh adik adik, mengajak bermain hingga sore. Manalah mampu Ibu membayar
pembantu. Terlebih gaji guru negeri sungguh rendah kala itu.
Kondisi Sekolahn SDN 5 Karang Anyar - Lampung Selatan kini - tak berbeda jauh dengan tempoe doeloe |
Bangunan paling kanan di sudut bangunan sekolah itulah yang dulu jadi rumah kami. |
Karang
Anyar – adalah salah satu desa yang masuk dalam teritori kabupaten Lampung Selatan.
Jarak dengan Bandar Lampung sebagai pusat kota tak begitu jauh. Cukup perjalanan
1 jam berkendara ke Tanjung Karang – Bandar Lampung. Bermain ke pusat kota
kala awal bulan bersama Ibu adalah sebuah kemewahan kala itu bagi adik adik saya. Ditengah kesibukan Ibu
mengajar dengan menjadi wali kelas dan penanggungjawab beberapa mata pelajaran
sekolah dasar. Bagi adik adik saya, bermain di areal sawah yang tak jauh dari
rumah kecil samping gedung sekolah adalah hal yang menyenangkan. Dalam dunia
anak anak, adik adik saya menganggap berlarian di persawahan dilanjutkan dengan
menghabiskan waktu sore di sungai yang jaraknya tak jauh dari areal sawah
adalah suatu kesenangan tersendiri. Dini – adik perempuan saya satu satunya itu,
meski masih duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar tapi telah piawai menjaga
adik adik. Dini paham bagaimana menyuapi adik adik, memandikan mereka
hingga meggendong adik nomor 5 dan 6 agar
nyaman hingga tertidur pulas sebelum ia menunaikan pekerjaan rumah lainnya seperti
menyapu, berbenah dan tak jarang mengambil air bersih dari sumur umum kala itu.
Desa
Karang Anyar – Lampung Selatan.
Sebuah
tempat penuh kenangan. Meski saya tak setiap hari ada di sana. Saya kerap
berkunjung ke Karang Anyar hanya ketika libur sekolah. Bertemu dengan Ibu dan adik
adik adalah hal yang menyenangkan. Sebagai desa yang akses ke Bandar Lampung
tak begitu sulit, Karang Anyar tetaplah sebuah desa yang tak begitu banyak
mengalami perubahan hingga kini. Jalan raya yang membelahnya semakin parah – lebih parah
dari tahun 1996 dimana saya kerap berkunjung kesana. Hanya saja kendaraan semakin banyak. Bahkan
kini ada Bis ke arah Metro yang melalui
jalan Karang Anyar dari terminal Raja Basa.
Pekan
lalu, saya mendatangi desa Karang Anyar. Hanya sekedar ingin tahu sekaligus
napak tilas masa lampau dengan ragam untaian kisah. Kisah perjuangan Ibu dan
adik adik saya. Kisah kesederhanaan sarat hikmah yang selalu saya dan adik adik
maknai sebagai pembelajaran berharga dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Beruntung kami melalui masa masa kecil di banyak bagian di provinsi Lampung.
Mulai dari masa kecil di Martapura - Baturaja, Baradatu – Way Kanan, di desa Kayu Batu, desa Negara
Kemakmuran, dan desa Tulung Buyut di Lampung Utara hingga di desa Karang Anyar
yang merupakan desa dalam kabupaten Lampung Selatan sebelum akhirnya tinggal di
Perumnas Way Kandis – Bandar Lampung sebagai tempat terakhir keluarga kami sebelum
ajal merenggut nyawa Ibu saya melalui musibah kecelakaan motor.
Masa
lalu adalah pembelajaran. Sangat berharga jika kita memaknainya sebagai sebuah
proses kehidupan yang memang harus dijalani. Tak akan ada sosok saya seperti
ini jika tidak melampaui banyak fase pahit kehidupan di kala itu. Tak akan ada
kekuatan dan semangat yang menggunung pada diri ini jika tidak melewati proses asam
garam dan pahit serta manisnya hidup. Apapun bentuknya, saya mencintai masa
lalu saya, sama hal nya rasa cinta saya pada Ibu dan Ayah kandung dan adik adik
saya.
0 comments :
Posting Komentar