“…silakan…” suara lembut itu selalu hadir setiap pagi
ketika saya sedang bersiap memulai aktivitas.
Suara istri
saya.
Ia, tak pernah
alpha menyiapkan secangkir kopi panas lengkap dengan beberapa kudapan lezat
sebagai hidangan sarapan di meja makan setiap pagi ketika saya dirumah.
Pagi itu, ia tak
hanya mempersilakan saya menikmati apa yang ia suguhkan tetapi juga mencium
kepala saya saat saya sedang asik men-check
akun akun medsos via ponsel.
“tumben, pake cium cium.?” tanya saya
bercanda kearahnya.
“kok tumben?” istri saya balik bertanya.
Wajahnya serius.
Saya terdiam.
“Ayah lupa ya..?” sahut istri saya
seraya ia duduk di kursi persis di depan saya.
Saya masih
asik berselancar di ponsel.
“Dulu, diawal-awal pernikahan, Ayah yang
selalu cium kepala Bunda. Sampai anak pertama kita lahir. Seiring waktu. Ayah
jadi sosok yang sibuk. Super sibuk. Demi
memenuhi kebutuhan Bunda dan anak anak.
Tak ada lagi ciuman di kepala setiap pagi buat Bunda…. Jadi pagi ini,
Bunda yang cium kepala Ayah.”
Saya terdiam.
Segera menyingkirkan ponsel. Menatap wajah istri saya yang masih tenang meski
kata-kata yang baru saja ia utarakan cukup membuat saya terhenyak.
Istri saya - Dwi Wahyuningsih. Wanita Jawa Konvensional penuh kesederhanaan tetapi Memperkaya jiwa dan cara berfikir saya. |
Sungguh waktu
berjalan begitu cepat.
Tak terasa putra
pertama yang dulu kelahirannya menjadi kebahagiaan bagi saya dan istri kini
telah beranjak besar. Kelas 5 SD saat ini. Baru saja di sunat. Begitupun putra kedua
dan adik perempuannya. Lengkaplah anak kami. Anugerah yang sang Pencipta
percayakan pada saya dan istri.
Sampai diposisi
ini – dalam keluarga yang saya bina bersama istri, bukanlah pekara mudah. Ada banyak egoisme dan
urusan individu yang harus saya tekan semaksimal mungkin agar dapat sejalan
dengan kehendak istri. Meski di banyak hal saya memang cenderung mendominasi.
Beruntung, saya memiliki istri yang senantiasa memahami egoisnya diri ini.
Beruntung saya memilihnya. Bukan karena fisik semata tapi lebih karena
keindahan hatinya yang telah menawan saya sejak dahulu di bangku SMA.
Pernikahan yang
saya bina bersama istri tidaklah diawali dengan kemegahan dan banyak kemudahan.
Tidak ada fasillitas berlebih dengan nuansa mewah yang orang tua kami berikan.
Bahkan kerja keras serta saling mendukung dalam beragam keputusan yang kami
pilih telah mewarnai suasana rumah tangga sejak awal. Hingga kini.
Masih ingat
dibenak saya, bersedianya istri beserta keluarga intinya menerima pinangan saya
meski saat itu saya belum memiliki pekerjaan tetap. Istri saya sungguh berani
mempertaruhkan masa depannya ketika menerima lamaran dari pria yang kala itu
hanya berprofesi sebagai penyanyi kafe/resto plus pemandu acara. Beberapa bulan
jelang hari pernikahan pun saya masih berjuang bekerja serabutan pada beberapa
perusahaan sebagai tenaga marketing lepas. Berharap dapat penghasilan tambahan
untuk mencukupi pengeluaran pernikahan. Bahkan saya masih memandu acara launching product sebuah merek kosmetik di siang hari dan acara
resepsi pernikahan di hotel berbintang pada malam hari tepat sebelum akad nikah
terlaksana pada keesokan harinya.
Akad nikah dan
resepsi pernikahan sederhana pun berlangsung lancar dengan biaya 20 juta –
biaya yang cukup besar di tahun 2004.
Berikrar untuk saling terbuka, berkomunikasi, memahmi
diri dengan berkenan menerima segala kekuarangan pribadi adalah komitmen saya dan
istri. Tak begitu paham kami akan arti kata setia yang retorika.
Dibalik ragam
profesi yang saya lakoni saat ini ; sebagai karyawan, sebagai pemandu acara,
penyanyi, pengajar, konseptor event, pelaku organisasi hingga sebagai penyuka
jalan jalan dan juga penulis dari aktivitas jalan jalan tersebut membuat saya
jarang berada dirumah. Jauh berbeda ketika dahulu diawal pernikahan. Sebuah
kondisi yang terjadi berdasarkan tuntutan hidup dan juga kewajiban saya sebagai
kepala keluarga akan pemenuhan kebutuhan rumah tangga.
Istri saya
hebat.
Sungguh saya
memiliki partner yang tepat.
Ditengah
padatnya aktivitas diluar rumah, ia tak pernah lelah memberi dukungan. Tak pernah lupa memijat suaminya sebelum
tidur. Tak pernah lupa menyiapkan kebutuhan suaminya meski padat dan lelahnya
ia sebagai ibu rumah tangga. Istri saya
adalah partner diskusi terbaik untuk keputusan – keputusan yang saya pilih.
Termasuk pihak yang berkenan diajak menjaga rahasia. Istri saya selalu jadi sosok cerdik. Ia dapat
dengan piawai mengemukakan sisi lain yang tak pernah saya fikirkan sebelumnya. Sifat
konvensional yang ia miliki begitu melengkapi sifat saya yang cenderung
imajinatif. Ia bukan sosok istri yang suka berlebihan dalam penampilan. Tak
begitu suka memakai perhiasan dan tampil glamour
mengikuti trend mode. Baginya fashion
adalah identitas diri. Dan identitas diri tidak harus sama dengan orang lain
bahkan dengan trend mode yang sedang happening sekalipun. Istri saya tak
pernah boros untuk urusan perawatan tubuh dan make up. “seperlunya saja”.
begitu ungkapnya disuatu kesempatan. Toh
– make up terbaik adalah kebaikan
dan ketulusan hati. Bukan merek ternama produksi luar negeri. Buat apa pakai merek make up mahal tapi hatinya culas
dan selalu iri dengki.
Istri saya tidak
pernah cemburu dan marah ?. Tentu pernah.
Tapi ia punya
cara yang elegan saat menyampaikan rasa cemburu dan amarahnya yang belum tentu
dimiliki oleh wanita lain seusianya. Ia pernah keberatan ketika saya terlalu
banyak menghabiskan waktu diluar rumah dengan gadis gadis muda yang beberapa
diantaranya ia tak suka. Meski ia tidak begitu keberatan ketika saya bersama
Muli Muli Kota Bandar Lampung. Karena ia memahami kapasitas saya. Ia sosok yang
paham dengan pekerjaan yang saya lakoni. Itulah sebabnya ia tidak pernah cemburu
buta dengan partner duet atau partner ngMC saya di panggung. Termasuk
tidak pernah mempermasalahkan rekan rekan
traveling saya. Bagi istri saya, segala hal positive yang saya lakukan akan ia dukung sepenuh jiwa asal saya
tidak pernah lupa pada komitmen yang telah kami ikrarkan diawal pernikahan
dulu. Termasuk komitmen saya untuk menyediakan waktu berkualitas bersama
keluarga ditengah padatnya aktivitas luar rumah yang saya lakoni.
Saya menyadari,
saya bukanlah sosok sempurna. Jauh dari sosok suami ideal. Tapi justru saya
merasa ideal karena dilengkapi oleh istri saya.
Sosok sederhananya memperkaya jiwa dan cara berfikir saya. Yang kemudian
berpengaruh pada kemampuan saya mengambil keputusan. Saya juga kagum dan
menghargai keputusan istri saya untuk keluar dari pekerjaannya yang terbilang
mapan dan memilih fokus menjaga anak anak. Meski pada perjalanan waktu, ia
masih beraktivitas melakukan bisnis rumahan yang menghasilkan uang dengan tetap
mendampingi anak anak. Istri saya pun sosok tegas terhadap tumbuh kembang anak
anak. Ia tidak pernah memperkenankan orang lain memasak makanan atau menyiapkan
minuman untuk anak anak. Termasuk asupan makan sejak balita hingga kini. Istri
saya selalu bertindak sebagai ‘full time
chef’ bagi anak anak termasuk saya. Hasil masakannya
selalu lezat. Hobinya menguji-coba resep masakan nyaris sempurna. Jika saja
saya tidak menerapkan pola diet dapat dipastikan ukuran tubuh saya akan
membengkak!.
Tak ada alasan
untuk saya tidak bersyukur atas nikmat hidup yang Tuhan berikan. Atas perkenan
Tuhan mempertemukan saya pada pendamping
hidup yang sungguh melengkapi diri ini. Sosok yang selalu mengajarkan saya
untuk kuat dan tidak pernah mengeluh. Sosok yang senantiasa mengingatkan saya
akan kealphaan saya sebagai pribadi yang lemah. 11 tahun kami bersama. Bukan ukuran sesaat
tetapi juga bukan sebuah akhir. Ada
banyak kesiapan yang harus berkenan saya dan istri hadapi didepan nanti. Hanya
atas izin ilahi perjalanan cinta ini terjadi. Tugas saya dan istri untuk terus
merawat anugerah yang Tuhan telah pertautkan sejak pertama kami dipertemukan.
Janji saya untuk tetap memegang komitmen atas kepercayaan yang telah ia
serahkan sepenuhnya pada saya. Tak akan tega saya menghianati kepercayaan
tersebut. Cukuplah ia seorang hingga hayat memisahkan. InsyaAllah. Love
You Much, Dwi Wahyuningsih.
0 comments :
Posting Komentar