Dua
jam lamanya Mang Lakar menunggu di warung nasi depan stasiun Kereta Api Tanjung
Karang. Sepanjang malam Mang Lakar berjuang menahan kantuk diantara sesak
barang dan padatnya penumpang kelas ekonomi yang tak pantas disebut layak huni.
Rangkaian kereta api bergerak dari Talang Bekasam –
kampung halaman tercinta Mang Lakar kala dini hari. Sebuah waktu yang mestinya
digunakan untuk tidur nyenyak. Dalam
gerbong kereta yang sumpek, Mang Lakar ingat pesan Mamak , “halah sekali-kali lupe gok sembahyang.” (jangan sekali-kali lupa
mengerjakan shalat) – begitu nasehat Mamak yang selalu diulang dalam tiap
rentetan pesan kehidupan yang terucap di lorong tunggu selama Mang Lakar menunggu
sepur.
Juni
1995.
Setamat
SMA Negeri 1 Sungkai Utara, Mang Lakar
bertekat mengadu peruntungan di pusat kota. Ketika Jakarta yang semula menjadi
tujuan merantau tak direstui oleh Mamak, maka Mang Lakar memilih Bandar Lampung
sebagai tujuan mengadu nasid hidupnya.
Sekuat tenaga Mang Lakar meyakinkan Mamak. Meski berkali-kali didiamkan
Mamak. Akhirnya direstui juga. Mamak melepas Mang Lakar dengan hati terganjal.
Berkali kali Mamak menghapus air mata kala menemani Mang Lakar menunggu kereta
datang di stasiun Talang Bekasam.
Di
Talang Bekasam, Mang Lakar adalah pemuda pandai dengan banyak kawan. Mulai dari
anak tukang babat rumput sampai anak Kepala Desa, semua dekat dengannya. Mang
Lakar idola kaum muda. Bukan karena ketampanan wajah atau bentuk fisik yang
aduhai bagai bintang film India. Bukan!. Tapi karena Mang Lakar selalu siap
sedia membantu kawan kawannya dikala apapun. Lebih banyak dikala susah. Pernah
Mang Lakar bersedia menemani Paman Dulham mencari anak gadis kecilnya yang
hilang tersesat di ladang jati. Meski akhirnya berakhir tragis. Paman Dulham
marah besar ketika tahu Mang Lakar menaruh hati pada si gadis kecil yang masih
duduk di bangku 4 SD.
Mang
Lakar juga sosok yang selalu hadir membantu di setiap pembukaan ladang baru.
Mulai dari aktivitas membakar lahan sampai pada membuat patok ladang hingga
kemudian bertanam sayur mayur. Pokoknya, tak ada aktivitas warga desa Talang
Bekasam yang tak dihadiri oleh Mang Lakar. Bahkan, pernah ketika dalam keadaan
demam tinggi Mang Lakar masih menyempatkan hadir nonton orkes dangdut dalam
rangka perayaan kemenangan Lurah kampung sebelah.
Sebenarnya,
Mang Lakar tidaklah sematang sebutannya. Kata ‘Mang’ yang terselip di depan namanya merupakan julukan seluruh
desa karena kedewasaan tampilannya. Meski sebenarnya usianya masih remaja
SMA. Bernama asli Irham Lakar dari
seorang Ayah bernama Lakar Ahmad Pangeran Dilom Putra – sosok Lampung asli yang
besar diperantauan berjiwa tegas dengan
masih memegang teguh tata laksana kehidupan adat istiadat masyarakat Lampung.
Ibu Mang Lakar adalah seorang Ogan yang juga keras jiwa dan berprinsip. Sama
kerasnya dengan sang Ayah. Volume suara mereka ketika bicara dalam rumah pun
dapat terdengar hingga pekarangan rumah. Belum lagi jika sedang bersitegang.
Volume suara akan lebih besar berkumandang. Bisa jadi, karena sikap tegas dan
disiplin kedua orang tua Mang Lakar lah yang kemudian membentuk pribadi Mang
Lakar benar benar jadi sosok yang lebih tua ketimbang umur sebenarnya. Sebutan ‘Mang’ didepan nama Lakar
sungguh pantas tersemat.
Meski
begitu, keteguhan hati Mang Lakar membawa kebulatan tekadnya untuk mengadu
nasib di perkotaan – sesuatu yang menurut Mang Lakar pantas ia perjuangkan.
“woy, ngelamon kian ngan ni..” (woy,
melamun saja kau ini), sentak seorang pemuda kepada Mang
Lakar. Buyarlah seuntai lamunan Mang Lakar.
“lame nian ngan ni ngejemput, Cek.” (lama banged kau menjemput, Cek), ucap Mang Lakar seraya mengangkat
dua kardus ukuran sedang, dan tas jinjing besar bercorak dedaunan yang ia jaga
sebagai kebutuhan merantau dari Talang Bekasam.
“maklum saje Mang, agak jaoh dai
humahku. Payulah…” (harap
maklum Mang, cukup jauh dari rumahku, Ayoklah), sahut Cek Dika membantu membawa
barang barang Mang Lakar.
Mang
Lakar kemudian mengikuti langkah Cek Dika. Mereka harus berjalan sesaat menuju
kumpulan angkot yang berjajar tak jauh dari warung nasi di depan stasiun kereta
api. Cukup sulit bagi Mang Lakar menyesuikan langkah lebar Cek Dika. Ia masih
menyesuaikan dengan kondisi sempitnya jalan yang tergerus pedagang kaki lima
dan kawasan lalu lalang angkot beragam warna. Sesekali Mang Lakar melepaskan
pandangan kebeberapa arah. Ada beberapa tulisan yang akan ia ingat agar kelak
ia tak tersesat. “halah lupe gok name jalan. Ingatkan. Engke ngan idak kesasar di Karang.”
(jangan lupakan nama jalan. Ingatkan. Biar kamu tidak Nyasar di Karang –
Tanjung Karang). Begitu pesan Mamak padanya. Mang Lakar nampak menikmati keramaian yang
tidak pernah ia rasakan sebelumnya, itulah sebabnya ia tertinggal jauh di
belakang Cek Dika. Sebuah keramaian yang
menjadi satu antara lalu lalang beragam angkutan kota, ratusan manusia dan
ragam kesibukan mereka masing masing yang jarang terlihat bertegur sapa
diantara penjual penjual yang sibuk berteriak teriak menjajakan aneka barang,
mulai dari buah-buahan hingga spare part
kendaraan bermotor second. Suasana Terminal
Pasar Bawah Tanjung Karang. Perjuangan mengadu nasib dimulai.
0 comments :
Posting Komentar