Hanya
jika seseorang lelah seusai dikejar hewan buas sajalah yang mungkin bisa
menghabiskan segelas es teh tarik dalam hitungan kurang dari 60 detik.
Begitulah ketika sosok berusia matang, bercelana longgar yang saban hari berupaya keras mencari inspirasi untuk lagu
lagu di album terbarunya.
Mohon
pemahaman kawan, yang disebut album lagu
bukanlah seperti yang ada dalam fikiran kebanyakan orang. Bagai album lagu di gerai toko kaset atau CD
pada umumnya. Album lagu yang ia
produksi adalah album lagu untuk kepuasan pribadi sendiri. Ialah pria penutur cerita yang kerap disapa Cek Dika.
Selain
penggila lagu lagu Melayu temo dulu, Cek Dika seorang pemain bola. Setidaknya
begitu ia memperkenalkan diri pada setiap orang yang baru ia kenal. Entah sudah
berapa kali ia bermain bola. Tak ada pertandingan bola pada tingkat RT/RW atau
Kecamatan sekalipun yang menyertakan dirinya. Bisa jadi ia bermain bola dalam
imajinasinya yang tinggi. Sama tingginya ketika ia berkisah dalam proses
pembuatan album terbaru. – bisa jadi, yang ia maksud adalah album foto. Cek
Dika seorang perantau dari Palembang. Bermetamorphosa sebagai remaja di Bandar
Lampung kala pertengahan tahun 1980-an.
Pukul
3 sore kala itu.
Biasanya,
Cek Dika datang bersama kawan-kawannya ; Haidir Usman, Saiful Fattah, Irham
Lakar. Tiga sejoli yang juga perantau dari sungai ogan. Mereka kerap menghabiskan waktu di Kedai Aceh kala
malam hingga larut menjelang. Melepas
penat sepulang kerja di pabrik – ujar mereka.
Tidak
kali ini.
Cek Dika
datang sendiri. Menunggu kehadiran rekan
rekan lainnya yang usai shift malam – katanya.
Dalam
hal gaya busana, tampilan Cek Dika dan ketiga sohib senasib serantauannya itu
tidaklah berseberangan. Bercelana longgar – cenderung baggy, kemeja ketat bak seragam sepak bola sebelum masuk tahun 90-an
lengkap dengan rambut klimis beraroma menyengat. Pakai pomade – kata Cek Dika bila ditanya. Untuk zaman 2015-an penampilan
Cek Dika dan tiga serangkai rekannya itu sungguh retro. Nyentrik dipandang mata. Hanya orang orang bernyali kuat dan
kokoh pendiriannyalah yang bersedia menampilkan dandanan tersebut.
Pernah
Cek Dika berujar – pada sebuah kesempatan, bahwa ia sangat menggandrungi gaya
tampil group band Naif. David Naif lah inspirasinya. Meski kini David Naïf tak
lagi kerap wara wiri di televisi karena
tergusur oleh band band remaja berwajah dan bergaya ke-kini-an meski kualitas
bermusik pas-pas-an.
Kala
senggang, Cek Dika yang merupakan pekerja pada pabrik pengepakan produk makanan
instan ini kerap menghabiskan waktunya
di Kedai Aceh. Suguhan Kopi dengan harga terjangkau dan tak ada larangan untuk duduk senda gurau berlama
lama adalah alasan kuat Cek Dika dan rekan-rekannya menyukai Kedai Aceh.
Tidaklah Cek Dika meributkan fasilitas akses internet gratis yang tidak disediakan
Kedai Aceh. Selain Cek Dika tidak ber-gadget
canggih khas pergaulan masa kini, ia tak terlalu paham akan dunia internet. Cek
Dika lebih senang berlama lama dalam sebuah obrolan ketimbang berselancar di dunia
maya seperti gaya anak muda sekarang.
Sore
itu, seperti biasa. Cek Dika memesan Es Teh tarik favorite-nya sekaligus Kopi Aceh yang khas. Tak komplit katanya
jika ke Kedai Aceh tidak minum kopi Aceh.
Jauh
sebelum hadirnya Kedai Aceh. Cek Dika dan rekan rekannya yang juga pendatang di
Bumi Lampung itu menghabiskan banyak waktu di beberapa tempat kekinian pada
eranya. Dulu, program Monday Diggers
Night jadi salah satu cara Cek Dika dan rekan rekan menghabiskan senin
malam dengan menikmati suguhan musik di
kafe Diggers. Suasana ramai dengan hamparan
garis pesisir Teluk Lampung yang tersaji indah sungguh sebuah magnet tersendiri bagi Cek Dika dan
rekan rekannya kala itu.
Itu
dulu. Bahkan beberapa tahun sebelumnya,
Kafe Yayang atau Kafe King yang kini lokasinya jadi pusat perbelanjaan Simpur
Center adalah tempat dimana Cek Dika dan
the Genk menghabiskan waktu dengan
gaya khas remaja kala itu. Pernah suatu
masa Cek Dika bertutur tentang pengalamannya diajak masuk diskotek pertama kali
oleh kenalan baru si Saiful Fattah. Diskotek Casablanca nama pusat ajojing Cek
Dika dan sohib sohibnya. Letaknya bersebelahan dengan hotel Kartika kala itu,
selain Diskotek Meteor dan Diskotek Oya yang turut gegap gempita menghadirkan
sajian musik dangdut disko remik sebelum akhirnya gulung tikar juga.
Lalu Cek
Dika berkisah bagaimana ia menjajal keberuntungan dalam kompetisi menyanyi
seperti Bahana Suara Pelajar, Remaja Ceria, Gita Bahana Nusantara, hingga
kompetisi Bintang Radio dan Televisi di tahun 80-an hingga 90-an meski tak pernah membuahkan gelar juara bahkan
akhirnya Cek Dika mengabdikan diri pada lagu lagu Dangdut dan Melayu. Namun
dari ajang Bintang Radio dan Televisi tersebutlah yang menurut Cek Dika menorehkan
banyak nama yang kini masih berjaya sebagai penyanyi karena ajang perlombaan
tersebut benar benar mengandalkan kualitas suara dalam bernyanyi, bukan karena faktor
kiriman SMS dukungan sebanyak mungkin atau karena kisah hidup yang di
dramatisir sehingga mendatangkan simpati penonton TV. Cek Dika juga pernah berkisah tentang
keterlibatan ia dalam organisasi pemuda seperti Remaja Islam Masjid, Karang
Taruna bahkan Remaja Bina Desa yang dahulu belum disusupi kepentingan
kepentingan politik seperti yang terjadi saat ini.
Cek
Dika pernah bercakap dengan kawannya, tentang pergerakan kreativitas remaja
yang kini semakin canggih dengan basis teknologi dan sebagian murni merupakan
sebuah gerakan kelompok untuk
kepentingan khalayak bersama meski
sebagain lainnya merupakan titipan ‘pesan sponsor’ dari penguasa yang sedang
berjaya.
Begitulah
Cek Dika, termasuk rekan rekannya yang mampu menuturkan secara runut seputar
pengalaman dan perjalanan kehidupan dalam setiap perjumpaan. Meski harus diakui, dari gaya busana dan
bahasa tubuh Cek Dika dan tiga serangkai setianya itu menunjukkan bahwa mereka gagal move on dari masa kejayaan remaja era
80-an hingga 90-an.
Sarat pengalaman, asam garam dunia musik sudah dirasakannya.
BalasHapusKalau ada videonya oom, bolehlah mau lihat Cek Dika bernyanyi.
hahahahha sebenernya Cek Dika itu cuma gede omong ajaaa..... mana ada Album lagu dia itu, paling cuma rekaman pas dia NgeJob di panggung panggung orkes keliling kampung aja bareng Moneta Group. Dasar Biduan.!!!
HapusSoal gaya busana itu, sudah jadi kesukaan sepertinya, ya mas. Mungkin juga soal selera. Kesukaan dan selera yang tak tergerus zaman dan gaya kekinian.
BalasHapusBtw, aku suka baca gaya bertutur mas Indra dalam tulisan ini. Rasanya menemukan cita rasa yang berbeda dari tulisan-tulisan yang pernah aku baca sebelumnya.
hahahahhahahahahahha thanks sudah baca mbaaaa..... soale selera busana emang dia sungguh Nyentrik mba..lebih nyentrik dari gadis thailand yang telah kita kenal bersama hahahahah
Hapus