Diam
diam Cek Dika kehabisan cara untuk menghibur Mang Lakar yang selalu dirundung
rindu kampung halamannya – Talang Bekasam. Dua bulan berlalu dari awal
kedatangan Mang Lakar di Tanjung Karang. Mulanya, Mang Lakar terlihat sumringah ketika
kali pertama tiba di rumah Cek Dika. Meski ukuran rumah yang dihuni Cek Dika
dan Ibunya tidak sebesar rumah Mang Lakar di Talang Bekasam, setidaknya Mang
Lakar senang karena lingkungan rumah Cek Dika yang ramai. Mang Lakar memang
belum bisa membedakan antara ramai dan kawasan padat penduduk.
Sesungguhnya,
Cek Dika dan Ibunya belumlah genap 4 tahun mendiami rumah yang hanya memiliki
ruang tamu sekaligus ruang makan dan dua kamar tidur yang cukup menampung tak
lebih dari dua tubuh tambun tersungkur itu. Pada bagian belakang yang
berhimpitan dengan dinding tetangga ada satu dapur yang cukup untuk menaruh kompor
gas ukuran sedang dan rak piring merangkap sarana penyimpan makanan sisa. Persis disebelah dapur minimalis itu
terdapat satu kamar mandi yang harus berkenan dipakai bergantian. Gang
Singgalang – Kupang Teba – Teluk Betung. Begitu alamat rumah Cek Dika dan
Ibunya yang kini menampung kehadiran Mang Lakar.
Ibu
Mang Lakar kakak beradik dengan mendiang Ayah Cek Dika. Cek Dika dan Ibunya
memutuskan pindah ke Bandar Lampung ketika genap setahun Ibu dan Ayah Cek Dika
bercerai. Ibu Cek Dika adalah guru Sekolah Dasar. Cek Dika memiliki seorang adik. Ketika Mang Lakar hadir, Cek
Dika harus bersedia berbagi tempat tidur sedang si adik resmi campur tidur
dengan si Ibu.
Pada
minggu minggu awal kehadiran Mang Lakar di rumah, Cek Dika selalu menyempatkan
memandu Mang Lakar mengenal kawasan dimana ia tinggal. Sesekali Cek Dika
mengajak Mang Lakar berjalan kaki mengunjungi Supermarket King yang letaknya
tak begitu jauh dari rumah. Sambil berjalan kaki Mang Lakar menikmati suasana
ramai. Lalu lalang kendaraan beragam merek dan bentuk – sesuatu yang jarang ia
jumpai ketika tinggal di Talang Bekasam. Maklumlah Talang Bekasam jarang
dilalui mobil selain mobil angkutan
pedasaan yang bagian belakangnya terbuka. Jikapun ada jenis mobil lain selain mobil
angkutan desa yang reot itu, sudah tentu truck
atau puso pengangkut barang barang
hasil bumi dari beragam kampung disekitar Talang Bekasam ke pusat kota. Mang
Lakar sontak menunjukkan kekaguman dan rasa bahagianya ketika mendatangi
Supermarket King Teluk Betung. Berulang kali mulutnya ternganga dan matanya
terbelalak ketika melihat barang barang mewah yang beberapa diantaranya tak
pernah ia ketahui sebelumnya. Mang Lakar pun ikut-ikutan mengambil beberapa
jenis makanan dan minuman yang mereknya ia kenal dari Televisi. Namun kemudian
harus kecewa setelah tahu bahwa barang barang tersebut harus dibayar dikasir
sebelum hendak di santap dan di bawa pulang. Betapa udiknya Mang Lakar!!.
Masa
masa penyesuaian Mang Lakar pada tradisi kehidupan perkotaan memang dimaklumi
oleh Cek Dika. Beberapa hal konyol cenderung kampungan yang dilakukan Mang Lakar justru dianggap Cek Dika sebagai
hiburan diwaktu senggangnya menunggu
panggilan kerja. Cek Dika dan Mang Lakar sebenarnya melakukan upaya untuk dapat
bekerja seusai SMA. Mereka sepakat ingin segera menghasilkan uang sendiri dan
tidak menyusahkan orang tua. Meski ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan
ke perguruan tinggi seperti rekan rekan mereka yang mampu.
Sudahlah,
keinginan untuk kuliah seperti remaja lulusan SMA sebaya mereka harus di tunda
dahulu (bukan dikubur). ‘Kele aman lah
ade gawi, pacaklah kite daftar kuliah malam.” – (nanti saat kita sudah
bekerja, kita bisa daftar kuliah malam) ujar Cek Dika membuka pemahaman Mang
Lakar. Sebagai remaja yang gemar beraktivitas, Mang Lakar memiliki semangat
untuk belajar seperti remaja lainnya. Meski ia tahu diri untuk kuliah
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Begitupun Cek Dika. Ia sungguh memendam
hasrat untuk dapat bergaya bak anak anak kuliahan. Tapi ia memahami
keterbatasan Ibunya yang hanya guru sekolah dasar yang harus menerima keputusan
dimutasi dari kabupaten ke ibukota.
“antatkan aku kesini siang ini,
Cek.!!” (antarkan
aku kesini siang ini, Cek) ujar Mang Lakar antusias kegirangan pada suatu pagi.
“Mang, ini ni acara di gedung
besak!!. Kanye layar tancap pecak di Talang kite.!” (Mang, ini ni acara di gedung besar,
bukan layar tancap seperti di kampung kita – Talang Bekasam) – ucap Cek Dika
menjelaskan setelah melihat secarik kertas berbentuk flayer yang menjelaskan ragam pilihan judul film di bioskop Kim
Jaya – Teluk Betung. Aah… tampaknya Mang Lakar menemui hasratnya menonton film
di bioskop layaknya kegembiraan Mang Lakar kala ada gelaran layar tancap di
Talang Bekasam. Bisa jadi kegemarannya nonton film di Bioskop Kim Jaya kelak akan menghapuskan kerinduannya akan kampung
halaman. Semoga. – begitu harap Cek Dika dalam hati sembari meng-ia-kan
permintaan Mang Lakar menonton film yang dibintangi Rhoma Irama dan Ida Iasha
bertajuk Tabir Biru.
kapan2 ajak lah Cek Dika & Mang Lakar ngopi di kedai aceh.. :D
BalasHapusTenang oom Nanti Aku Akan pertemukan oom ke Cek Dika dan Mang Lakar yaaa
Hapus