suasana pasar ikan Gudang Lelang |
…”Ayah tunggu di depan gang aja, nanti si
bapak nemuin dan bawa barangnya.”
Begitu
istri saya berucap melalui telepon yang meminta saya sepulang kerja untuk
mengambil ikan giling pesanannya.
Istri
saya, berikut keluarga besarnya telah terbiasa melakukan pemesanan ikan giling
atau bahkan hasil laut lainnya dalam jumlah banyak pada penjual ikan langganan
mereka. Untuk harga jual yang tidak terlampau tinggi, penjual ikan pihak
pertama adalah pilihan tepat. Terlebih selisih harga yang lumayan untuk
dialihkan pada pengeluaran lainnya.
Rinai
hujan telah menghias perjalanan saya dari kantor menuju Gudang Lelang. Sebagai salah
satu pusat transaksi hasil laut antara tengkulak ikan secara langsung pada
nelayan, Gudang Lelang – beralamat di jalan Ikan Bawal Teluk Betung, telah menjelma menjadi denyut pertumbuhan
ekonomi baik kelas kecil, menengah maupun industri besar. Sejak masa sekolah
menengah atas hingga kini berkeluarga, saya telah mengenal kawasan Gudang
Lelang. Dari kawasan jual beli ikan sederhana kala itu, hingga menjadi pasar
ikan skala besar saat ini. Tak lupa saya mengganti seragam dengan kaus oblong
dan celana pendek sebelum memasuki kawasan Gudang Lelang. Kurang sedap rasanya
jika berkeliaran di pasar ikan dengan seragam kantor yang formal itu, heheheh.
Suasana nelayan pengangkut hasil laut tangkapan di kawasan Pasar Ikan Gudang Lelang. |
Semakin
sore, hujan turun semakin deras. Meski beberapa nelayan terlihat merelakan
tubuh mereka dalam deraan hujan. Aktivitas nelayan dan beberapa pembeli tetap
berlangsung. Saya singgah berteduh dibawah sebidang atap warung yang menjual
sayur mayur tepat di depan pintu masuk kawasan Gudang Lelang. Seperti arahan
istri, saya harus menunggu bapak penjual ikan langganannya itu di depan gang
tepat di sebelah bagian pintu masuk kawasan Gudang Lelang.
Tiga
puluh menit menunggu. Saya belum juga bertemu sosok bapak yang membawa ikan
giling pesanan istri saya. Nomor ponsel si bapak yang diberikan istri saya tak
dapat dihubungi. “Diluar Service Area”
– begitu kata operator seluler. Saya
kemudian memutuskan memasuki lorong gang dan mencari letak rumah bapak
penggiling ikan berdasarkan arahan istri saya. Tak begitu yakin, karena hanya
bermodal nama si bapak penggiling ikan saja.
kondisi jalan dalam kampung nelayan Gudang Lelang |
Suasana salah satu sudut dalam kampung nelayan |
Malu
bertanya sesat dijalan.
Begitulah
kiranya jika saya tak memberanikan diri bertanya kebeberapa orang yang sore itu
sedang hilir mudik di gang kecil yang saya lalui.
Tidak
terlampau sulit bagi saya mengikuti arahan beberapa orang yang saya tanyai letak
tempat tinggal si bapak penggiling ikan. Diantara gang sempit yang saya lewati
terlihat aktivitas sore beberapa warga yang tinggal diantara bentuk rumah yang
bersinggungan satu sama lain. Aroma laut terhendus jelas dalam susunan rumah
panggung nan khas perkampungan nelayan. Hamparan sampah cukup mengganggu
pandangan mata saya selama perjalanan mencari letak rumah si bapak penggiling
ikan. Ternyata tak semua pemilik rumah menyadari betapa bahayanya buang sampah
sembarangan ke perairan laut lepas dimana rumah mereka berada. Belum lagi
dampak penyakit yang dapat timbul oleh genangan sampah dibagian bawah setiap
rumah warga. Bagi saya, hamparan sampah yang terlihat sepanjang menyusuri gang
sungguh mengkhawatirkan.
Setelah
berjalan lebih kurang 300 meter kebagian dalam kampung nelayan plus bertanya
pada beberapa pihak akhirnya saya sampai di kediaman bapak penggiling ikan
tersebut. Wajahnya tetap ramah menyambut saya, meski tubuhnya nampak lelah
dibalik mesin penggiling ikan. Ternyata ponsel si bapak penggiling ikan
dimatikan karena keinginan si bapak fokus bekerja. Begitu ia menjelaskan.
Saya
diminta menunggu beberapa saat oleh si bapak penggiling ikan. Ternyata ikan
giling pesanan istri saya belum sepenuhnya selesai.
Sesekali
saya ajak si bapak penggiling ikan berbasa basi. Sekedar bertanya seputar
lingkungan rumah dimana bapak tersebut tinggal.
“warga sini pernah kerja bakti bersih bersih
sampah gak pak ?.” tanya saya dengan harapan dapat mengetahui mengapa
genangan sampah begitu banyak di kampung nelayan ini.
“ pernah mas.” jawab si bapak. “lumayan sering malah.” lanjut si bapak
sejurus kemudian.
“Sampahnya masih banyak aja ya Pak,?.” tanya
saya lagi.
“itulah mas, kampung ini seperti menjadi
persinggahan sampah dari beberapa daerah yang dekat dengan Gudang Lelang.”
jelas si bapak penggiling ikan sembari menyerahkan ikan giling pesanan istri
saya.
Ingin
rasanya saya berbicang lebih lama dan bertanya lebih jauh seputar kepedulian
masyarakat kampung nelayan dekat Gudang Lelang pada sampah. Tapi bahasa tubuh
si bapak tampak tidak begitu tertarik membicarakan seputar sampah dan
lingkungan tempat ia tinggal.
Saya
pun menyudahinya.
Saya
sempat memphoto aktivitas si bapak ketika menggiling ikan sebelum izin pamit pada si bapak setelah
membayar ikan giling pesanan istri saya. Senyum ramah si bapak melegakan hati
saya saat meninggalkan kediamannya.
Bayangkan jika wajah si bapak cemberut. Yakin ia akan membenci saya dan tak
akan lagi meladeni pesanan ikan giling istri saya. Hahaha.
Hujan
semakin deras. Lebih deras dari saat saya tiba di bagian depan kawasan Gudang
Lelang. Diantara atap atap bagian depan rumah yang bertautan saya menyelamatkan
diri dari serangan air hujan.
Suasana pedagang hasil laut di sepanjang jalan kebagian pasar Gudang Lelang |
Tetaplah
saya menyerah pada guyuran hujan meski kesigapan saya menyelinap diantara atap
atap rumah sepanjang lorong kampung nelayan sore itu. Saya memutuskan duduk mendekatkan
diri di depan kios yang sudah tertutup rapat dengan terpal orange sebagai atap terasnya. Seorang ibu paruh baya duduk tak jauh dari
posisi saya yang sedang berteduh. Si Ibu berjualan gorengan hasil laut. Ia
sendirian. Diantara produk minuman instan siap seduh yang tergantung rapih di
depan kios.
“gorengan mas ?,” si Ibu menawarkan
dagangannya pada saya ketika wajah kami berpandang mata.
“ada apa aja bu ?,” tanya saya sembari
mendekatkan diri kearah si Ibu.
“banyak mas, masih lumayan anget,” jelas
si Ibu berpromosi.
Sesaat
saya melihat gorengan yang dijajakan si Ibu.
Tidaklah
saya tertarik.
Pertama
saya tidak sedang lapar, kedua saya tidak terlalu suka gorengan.
“tiap sore hujan terus mas. Gorengan Ibu kena
ujan juga.” ucap si ibu kearah saya.
Saya
melihat si ibu yang duduk berjualan sembari tersenyum seadanya.
Beberapa
penjaja hasil laut terlihat berdiam diri di depan kios mereka masing masing tak
jauh dari posisi saya dan si Ibu penjaja gorengan. Beberapa diantaranya
perlahan berkemas. Malam akan datang sesaat lagi. Saya memandang bagian dalam
pasar ikan Gudang Lelang yang ramai. Diantara lalu lalang pembeli dan pedagang,
derasnya guyuran hujan, si Ibu penjaja gorengan tetap mengumbar senyum ramah
pada setiap orang yang melalui dagangannya.
“gorengan bu… silakan mba….” sapa si Ibu
penjaja gorengan ke setiap orang yang lalu lalang.
Saya
memutuskan mengambil gorengan pentul bakso ikan bergagang.
“kasih sambel lebih enak mas…” terang si Ibu menyodorkan
semangkuk saus sambal kearah saya. Ada senyum renyah di wajah si Ibu. Sungguh
saya terharu melihatnya. Bisa jadi ia senang karena akhirnya saya mencoba apa
yang ia jajakan.
“ sudah lama berjualan disini, bu?” tanya saya berbasa-basi sambil
menengok jenis gorengan lainnya.
“sudah mas.” sahut si Ibu singkat. “sejak anak anak saya kecil sampai mereka
sudah besar.” terang si Ibu kemudian.
Diam
diam saya mengagumi rasa gorengan si Ibu. Terlebih ramuan sambalnya yang enak.
Perpaduan pedas manis yang pas. Lumayan mengisi waktu menunggu hujan reda.
Tidaklah mungkin saya menerobos hujan deras ke mobil yang saya parkir cukup
jauh.
“Ibu buat sendiri gorengan ini?” tanya
saya memecah jarak hening antara saya dan si Ibu.
“ia mas.” jawab si Ibu datar diantara
hujan dan lalu lalang pengunjung Gudang Lelang.
“anak anak Ibu pasti suka ya dengan gorengan
buatan Ibu.” ujar saya sambil mengunyah gorengan kelima.
“mereka sibuk semua mas. Sudah bekerja masing
masing.” jelas si Ibu sekenanya.
Ada
air muka yang membuat saya iba ketika melihat si Ibu menguraikan kesibukan anak
anaknya. Tidaklah saya berkenan mengulik lebih banyak seputar kisah si Ibu dan
keluarganya. Akan terlalu lama saya
berteduh, sedang petang menjelang malam dan malam ada tugas lanjutan yang harus
saya lakoni.
“Bu, saya makan lima.” ucap saya sembari
memberikan lembaran uang seratus ribu rupiah padanya.
“wah besar sekali uangnya. Belum ada
kembalian, lho mas...” ujar si Ibu
“Kembaliannya Ibu bungkusin gorengan aja.”
pinta saya.
“Semua?”. tanya si Ibu
Saya
mengangguk. Si Ibu tersenyum riang. Ia tentu senang sebagain besar gorengannya
tandas terbungkus saya – si pelanggan pertamanya di sela menunggu hujan reda.
Saya sempat mengabadikan diri dengan latar belakang si Ibu yang sedang
membungkus gorengan buat saya.
Saya dan si Ibu Penjaja Gorengan di Gudang Lelang. |
“kalau besok besok kesini lagi, mampir ya mas…”
ucap si Ibu sambil menyerahkan sekantung plastik isi gorengan.
“inshaAllah bu. Semoga ibu sehat terus ya…”
ujar saya sebelum berlalu dari si Ibu yang memasang senyum hangatnya diantara
rintik hujan.
Saya
berlari kecil menuju parkiran dengan mengusung dua plastik besar berisi ikan
giling dan gorengan diantara hujan yang sedikit reda.
Ga suka tapi abis lima gorengan? hehehehe...
BalasHapusIni salah satu cerita tangguhnya warga pesisir Bandar Lampung di kehidupan sehari-harinya.
Salut buat mereka.
Betul oom.... Mengenal mereka seperti belajar kekuatan Jiwa dalam menjalani kehidupan. Tetep berupaya, tidak mengeluh meski sebenarnya bisa di keluhkan.
HapusBoleh tau nama penjual ikan gilingnya
BalasHapus