... "main ke Tulang Bawang dong!. Ke Kabupaten lain bisa, masak mampir ke
tanah leluhur Orang tua mu belum!” ucap Paman pada acara kumpul keluarga. “jika punya waktu, sempatkan ke Tulang
Bawang” timpal Bik Cik (adik bungsu Mama).
“Ia, InsyaAllah dalam waktu dekat
main ke Tulang Bawang” sahut saya meredam rentetan pertanyaan Paman dan Bik Cik.
Ternyata Paman dan Bik Cik menyimak hobi perjalanan dalam blog saya, hehehe.
Dan mencari waktu yang tepat untuk mengunjungi sebuah kawasan, bagi saya bukan pekara
mudah. Harus dapat celah diantara jam kantor pada hari kerja dan pekerjaan
panggung di akhir pekan. Belum lagi acara keluarga yang sering datang tanpa
kompromi. “yaah.., semoga saja dalam waktu dekat bisa ke Tulang Bawang” bisik
saya pada diri sendiri yang kemudian terhimpun dalam do’a sebelum tidur.
Tuhan
pun mengabulkan permintaan saya. Hari
Rabu mendapat perkenan libur dari kantor. Setelah melakukan sedikit persiapan
digenapi dengan restu istri, jadilah tekat bulat untuk mengunjungi Tulang
Bawang terwujud.
Lepas
Subuh di Rabu pagi saya menyemangati diri menuju Tulang Bawang. Hanya sendiri.
Karena anak istri tak bisa di ajak serta, termasuk menghubungi beberapa rekan yang biasanya saya
ajak dalam perjalanan ternyata sedang tak berkenan. Tak apalah. Nyetir ke
Jakarta dan Bandung sendirian saja saya berani, masak ke Tulang Bawang yang
jaraknya cuma 3 jam tak berani. Hehehehe. #belajarTegar!!
Keuntungan
melakukan perjalanan di pagi buta adalah lalu lintas yang masih lengang. Tak ada kemacetan apapun meski di kawasan
yang kerap terjadi macet sekalipun. Jarak 120 kilometer dari Bandar Lampung ke
Tulang Bawang pun terasa lega. Dengan
kecepatan berkendara standard, pukul 5 pagi dari Bandar Lampung, 07.30 WIB telah tiba di Menggala – pusat kota
dari kabupaten Tulang Bawang dengan selamat. Kondisi jalanan yang mulus menuju
Tulang Bawang sangat memudahkan perjalanan saya. Suasana pagi ketika memasuki
kawasan Menggala saya sempatkan mampir ke beberapa spot menarik untuk
mengabadikan bangunan bangunan khas daerah. Itulah enaknya trip sendiri, bisa berhenti di
beberapa tempat menarik sesukahati,hehehe.
bentangan sungai dan rawa rawa di Menggala |
Rencananya,
ketika tiba di Menggala, saya akan mengunjungi rumah Bik Cik – adik bungsu
mendiang Mama yang telah lama menetap di Menggala. Tapi melihat suasana pagi di
Menggala yang lengang, saya langsung mengalihkan kemudi menuju pasar Menggala. Seperti biasa, mengunjungi pasar
tradisional adalah salah satu kegemaran saya kala bertandang sebuah kawasan.
Benar saja, kala tiba di pasar Menggala saya langsung terpukau dengan jajaran
rumah panggung yang berada di kiri kanan jalan utama pada bagian depan pasar.
Pola rancang bangun yang masih terjaga lengkap dengan teralis besi bergaya
tahun 70an. Beberapa rumah panggung
menjadikan bagian bawah bagunan sebagai kios berjualan. Pagi itu belum nampak
ada kegiatan jual beli. Bahkan beberapa kios dan amben pasar yang sempat saya
tengok pun tampak lengang. Saya kemudian duduk di balkon sebuah rumah panggung
setelah meminta izin pada pemiliknya yang sedang bersiap membuka kios dagangan.
Dari teras rumah panggung itulah saya
menikmati suasana pagi yang lengang di pasar Menggala yang masih asri. Budaya kehidupan bermasyarakat yang rukun
berdampingan nampak jelas dalam pandangan mata saya. Suku Lampung asli yang mendiami kawasan pasar
Menggala, berdampingan dengan suku Bugis yang huniannya bersebelahan dengan
kawasan pasar. Ada banyak suku suku
pendatang yang kemudian beranak-pinak di Tulang Bawang, mulai dari suku
Minangkabau, Banten, Bali hingga etnis Tionghua.
pagi di pasar lama menggala yang lengang |
Cukup
puas menikmati suasana pasar Menggala, saya pun menuju rumah Bik Cik yang
letaknya tak jauh dari komplek pemda kabupaten Tulang Bawang.
Ketika
berbincang soal Pasar Menggala, Bik Cik pun menjelaskan bahwa pasar yang saya
datangi sebelumnya itu, disebut Pasar Lama karena aktivitas jual beli yang
tidak berlangsung ramai seperti dulu. “sekarang
ada Pasar Baru yang lebih dekat, di pinggir jalan besar” ujar Bik Cik
menjelaskan. Karena Bik Cik tahu saya menyukai pasar tradisional, ia pun
mengajak saya mengunjungi pasar baru Menggala yang ia maksudkan, sembari
menemaninya berbelanja keperluan rumah tangga.
Benar saja, pasar baru Menggala yang Bik Cik kisahkan tersebut begitu
ramai. Mulai dari penjaja kebutuhan dapur hingga jual beli baju dan perabot
rumah tangga. Pasarnya pun lebih luas daripada pasar lama yang saya datangi
beberapa jam sebelumnya itu. Meski
secara artistik dan kedaerahan saya menyukai suasana yang ada di pasar lama,
pasarnya lebih photogenic dan instagramable, hehehe.
suasana ramai di pasar baru |
Usai
kunjungan ke pasar tradisonal, Bik Cik sempat menunjukkan beberapa hal yang
mengandung sejarah di Menggala dalam perjalanan menuju kerumah. Mulai dari Dermaga lama, Kampung Bugis, Tangga Rajo
hingga sebutan Tiuh Toho Menggalo yang melegenda tersebut. Tak hanya Bik Cik, ketika tiba di rumah, Oom
Rochman pun berkisah banyak seputar Tulang Bawang. Sebagai putera daerah yang
lahir dan besar di Pagar Dewa, Oom Rochman yang masih kerabat Papa saya itu
menuturkan beragam hal seputar Tulang Bawang disela menunggu hidangan makan
pagi persembahan Bik Cik. Meski saya
adalah keponakan dari Bik Cik, soal kedatangan tamu, budaya menghidang makanan
istimewa telah menjadi tradisi dalam adat istiadat masyarakat
Lampung. “yok, makan dulu, nanti siang,
abis jalan jalan kita makan lagi.” ucap Bik Cik mempersilakan saya menyantap apa yang ia sebut
sarapan pagi – yang menurut saya serupa dengan sajian makan siang!!.
tiuh toho - pagar dewa - kampung kelahiran Papa saya. |
bahagianya saya menyusuri sungai pagar dewa |
Penjelasan
Bik Cik semakin lengkap ketika Oom Rochman – salah satu kerabat dari Papa yang
menemui saya dan berkenan meluangkan waktu menjadi pemandu saya sepanjang hari eksplorasi Tulang Bawang.
…
Dalam
kisah hidup saya, Menggala bukanlah sesuatu yang asing. Sejak kanak-kanak saya kerap
berkunjung ke kawasan yang dulunya masuk dalam teritori kabupaten Lampung Utara
ini sebelum akhirnya berdiri sendiri sebagai
kabupaten Tulang Bawang pada tahun 1997. Papa saya lahir dan besar di Tiyuh (desa)
Pagar Dewa – salah satu desa tertua (tiuh toho) di Tulang Bawang yang kini
masuk dalam kawasan Tulang Bawang Barat.
…
… Saya akan kisahkan keagungan Tiyuh
Pagar Dewa yang menjadi separuh darah daging saya tersebut pada tajuk hikayat
tersendiri.
BANGUNAN GAGAH TAK TERPELIHARA.
Oom Rochman
pun memahami minat saya. Ia mengarahkan saya pada banyak tempat tempat menarik
yang memang telah saya buat daftar kunjungan jauh sebelum saya tiba di
Menggala. Kunjungan ke kawasan Cakat menjadi warna tersendiri bagi perjalanan saya
siang itu, termasuk pengalaman melihat pembuatan ikan kering dan terasi /delan
Menggala. Selain itu kunjungan ke tempat tempat yang masih
tradisional dan mengandung sejarah adalah kegemaran saya selanjutnya. Sungguh kesenangan tersendiri ketika Oom
Rochman mengajak saya naik perahu kayu di tanah kelahiran Papa saya – Pagar Dewa
plus kesempatan bincang singkat dengan tetua adat lengkap dengan
ziarah ke makam pejuang dan pendiri Pagar Dewa.
Senengnya pake Banged!!!.
bangunan Museum Tulang Bawang tampak depan. |
tampak bagian dalam Museum lengkap dengan lantai keramik tak terawat |
Meski
bahagia karena dapat melihat dari dekat
kehidupan masyarakat Menggala lengkap dengan keluhuran budaya Lampung nan agung,
saya sempat terhenyak ketika melihat langsung kondisi Museum yang isinya
hanya lemari lemari kosong berantakan, termasuk kondisi bangunan dan ubin yang tak terawat. Beberapa bagian nampak lusuh tak
tersentuh perkembangan zaman. Museum bak rumah hantu. Mencekam. Tak ketinggalan juga
rumah adat yang lengang. Hanya beberapa pekerja bangunan yang sedang merenovasi sebagian gedung. Bisa jadi
kawasan ini ramai ketika ada acara. Kala ceremonial tak berlangsung, semua
kembali kesedia-kala. Lengang. Mencekam. Lebih mencekam ketika melihat gedung
gedung yang dulu berdiri megah kini telah usang. Penuh rerumputan. Tak ada
sentuhan perawatan. Bagai gedung tua
yang ditinggal penghuninya. Begitu pula dengan gedung kesenian yang senyap
tanpa ada aktivitas berkesenian, meski konon Tim Kesenian Tulang Bawang
senantiasa juara pertama bahkan juara umum lomba tari daerah tingkat provinsi Lampung
hingga nasional. Mungkin kunjungan saya kala itu hari Rabu, jadi tak ada
kehidupan berkesenian di gedung kesenian. Mungkin.
salah satu bangunan dari beberapa bangunan di akwasan wisata Cakat yang tak terpelihara - sayang biaya pembangunannya. |
pelataran depan kampus yang banyak rumput |
Kunjungan
mencekam lainnya adalah ketika mendatangi kawasan Universitas MegowPak. Kampus
perkuliahan yang dirintis pada masa Bupati Abdurachman Sarbini tersebut
tersohor karena rancang bangunannya sangat modern. Saya pun kagum melihat bangunan kaca bak hotel
di ibukota Jakarta tersebut. Meski kehidupan perkuliahan saat ini tidaklah berlangsung
maksimal. Rerumputan liar menjadi penghias kampus sejak bagian depan hingga
gedung belakang. Areal taman hingga mushalla yang ada di bagian belakang kampus
tampak tak berwujud karena timbunan rumput liar. Ragam bentuk ruangan dalam
bangunan megah metropolitan itu tampak lengang. Ketika malam datang, tentu ada hantu. Sungguh sayang
anggaran yang telah terpakai. Saya
mengagumi keunikan gedung kampus, sama uniknya dengan pemikiran mendirikan
kampus megah di sebuah Kabupaten.
bangunan kampus bagian dalam dari MegowPak yang juga tak terawat |
kondisi taman di bagian dalam kampus Megowpak |
Jika saja, kawasan kampung tua (tiuh toho) dan
bangunan lawas lainnya senantiasa di jaga keasriannya tentulah menjadi
destinasi wisata unggulan Tulang Bawang. Melihat jajaran gedung dengan gaya
arsitektur yang tak lagi dijumpai pada tahun 2000-an saja, saya sudah
terkagum-kagum. Memang butuh komitmen untuk menjaga keluhuran budaya dan
peninggalan yang ada di Tulang Bawang.
Tak perlu bangunan bangunan megah serba modern. Cukup jaga keasrian Tiuh Toho,
Budaya Tulang Bawang nan agung, sudah menjadi daya tarik kunjungan bagi
wisatawan yang menaruh minat pada sejarah – anthropology, dan keluruhan budaya
lokal (local wisdom). Selain pesona sungai dan isinya yang melimpah dapat juga
jadi daya tarik bagi mereka yang gemar meng-eksplorasi sungai.
Saya, keluarga Bik Cik dan Oom Rochman |
Sehabis Maghrib saya melajukan kendaraan kembali ke Bandar Lampung. Meski hujan deras, senyum bahagia saya menghias
sepanjang berjalanan. Kunjungan saya
ketempat tempat menarik di Tulang Bawang bersama Oom Rochman malah berbonus
hingga ke Tulang Bawang Barat ; ke Desa Gunung Katun, Panaragan, hingga melihat
dari dekat letak kereta kencana dan Islamic Center Tulang Bawang Barat yang
modern tersebut. Lengkap dengan tragedi ban mobil meledak!!.
bonus kunjungan ke Tulang Bawang barat - Islamic Center Tulang Bawang barat yang unik dan megah |
kereta kencana dalam layout tata kota Tulang Bawang Barat |
Bila nanti saya punya lebih banyak waktu, ingin
rasanya mengunjungi Tulang Bawang lebih
lama. Bermalam di rumah tetua adat di kampung tua (tiuh toho) dan turut serta
dalam aktivitas keseharian bahkan ritual adat masyarakat Menggala adalah
keinginan saya selanjutnya. Semoga.
Ceritanya sangat menarik sekali, bahkan dalam hati saya berkata, ingin rasanya saya jadi penulis seperti Bang Indra.
BalasHapusDaerah itu sering saya lewati kala saya sedang dalam perjalanan ke Jogja, sungguh sangat di sayangkan sekali bila bangunan2 yang mewah itu harus terbengkalai. Itulah sebab kurangnya perhatian dari Pemda setempat, mereka hanya memikirkan proyek tapi tidak memikirkan untuk berkelanjutan.
Terima kasih Pangeran atas perkenan comment nya.... kamu juga tentu bisa menulis lebih bagus dari saya. saya masih belajar kok... belum masuk tataran bagus apalagi ahli heheheh. yaa begitulah pembangunan terkadang sekedar membangun tapi belum tentu membangun yang memang diperlukan rakyat setempat.
HapusBanyak yang bisa diceritakan mengenai Tulang Bawang.
BalasHapusMesti siapkan waktu khusus ke sana buat jalan2 ya. Mudah2an terlaksana.
Dunia Menggala, Kerajaan Yang Masih Menjadi Penasaran Saya
BalasHapusGambar awal pada cerita ini itu adalah rumah Palembang dan pasar lama menggala dulunya di sebut dgn pasar ikan dan masih masuk wilayah kampung Palembang, ada pun kampung Bugis memang bertetangga dgn kampung Palembang di lihat dari bangunan rumah kampung Palembang rata-rata memiliki arsitektur yang berbeda jauh kampung Palembang krn merupakan pasar maka dibangunlah rumah panggung yang di bawahnya untuk berniaga atau berdagang sedangkan bagian atasnya untuk keluarga sedangkan rumah orang bugis rata-rata pagung saja karena mereka menetap di wilayah rawa dan mata pencarian mereka adalah sebagai nelayan.
BalasHapus