…Lapah jak
pagardewa,
Tiuh toho sai wawai
Helau sejarah, adat sai agung…
Penggalan
lirik dari salah satu lagu klasik Lampung berjudul ‘Tiyuh Pagardewa’ tersebut mengiang
di kepala saya. Petikan gitar pengiring lagu pun seolah berpendar dikepala saya
dalam perjalanan mengendalikan kemudi menuju tiyuh (desa) Pagardewa. Oom Rochman menemani perjalanan saya dari Menggala menuju
Pagardewa siang itu. Dalam perjalanan, ingatan
saya seolah memutar kembali rangkaian kenangan yang dulu pernah terjadi. Ketika
orang tua saya kerap mengajak serta saya mengunjungi tiyuh Pagardewa saat libur
sekolah. Hanya saja, untuk menuju tiyuh Pagardewa, saya dan keluarga kerap
menggunakan dermaga kapal di pusat kota Menggala. Itu dulu. Kini, kejayaan
dermaga Tulang Bawang yang menjadi akses banyak pedagang hingga saudagar
dijamannya itu tinggallah untaian kisah.
hamparan sungai tenang |
Tersebutlah
– dalam catatan Cina Kuno ; To-Lang P’o-Hwang (Tulang Bawang) sebuah kerajaan
yang makmur dan berjaya yang disinggahi oleh pejiarah agama Budha bernama
F-Hien pada abad ke 4 masehi. Kejayaan kerajaan Tulang Bawang konon sejajar
dengan kejayaan kerajaan Melayu, Sriwijaya, Kutai dan Tarumanegara. Meski belum
banyak catatan sejarah yang mengemukakan soal kerajaan Tulang Bawang, namun
ahli sejarah bernama Dr. J.W. Naarding memperkirakan pusat kerajaan Tulang
Bawang terletak di hulu sungai (Way) Tulang Bawang – antara Menggala dan
Pagardewa, berkisar radius 20 km dari pusat kota Menggala.
Meski
uraian kejayaan Tulang Bawang dalam bentuk kerajaan dimasa lalu itu mudah di
tuturkan oleh para tetua adat di Tulang Bawang namun cukup sulit untuk
ditelusuri dalam bentuk bukti fisik hingga kini.
Selama
perjalanan menuju Pagardewa, Oom Rochman bertutur seputar desa kelahirannya
tersebut. Akses jalan raya yang kini
lebih mudah di jangkau. Pengembangan jalan yang tersentuh pembangunan nampak
terlihat dari kondisi jalan yang mulus selama berkendara. Meski masih ada bagian
yang belum diaspal secara keseluruhan. Mobil yang saya kemudikan sampai pada
Panemangan sebuah kawasan yang menghubungkan akses menuju Pagardewa. Jalan
selanjutnya belumlah diaspal seperti jalan yang telah saya lalui
sebelumnya. Rawa berukuran luas menjadi
pemandangan dalam perjalanan desa Pagardewa.
suasana tiyuh Pagardewa |
TIYUH TOHO PAGARDEWA
Bangunan
Sekolah Dasar sederhana menyambut kedatangan saya dan Oom Rochman ketika
memasuki bagian depan desa Pagardewa. Tak nampak oleh saya aktivitas belajar mengajar. Kedatangan saya
dan Oom Rochman pun sudah lewat dari jam makan siang. Rumah – rumah panggung
berdiri pada kiri dan kanan jalan utama dari desa
Pagardewa. “Desa Pagardewa itu cuma satu jalan lurus ini aja.” ucap Oom Rochman
menjelaskan. “Selebihnya masih ada yang tinggal di kebun”.jelas Oom Rochman.
Saya menikmati sajian aktivitas beberapa warga yang terlihat dari dalam mobil
yang saya kendarai. Wajah – wajah
sederhana dengan senyum ramah pedesaan menyambut kami. Oom Rochman mengarahkan
saya untuk parkir pada halaman rumah panggung nan luas tak jauh dari sebuah
bangunan masjid berukuran kecil. Pandangan saya langsung takjub dengan beberapa
bangunan rumah pangung yang kondisi kayunya terlihat lapuk meski masih tegak
menopang lantai bangunan. “itu rumah paling tua di desa ini.” ujar Oom Rochman
yang menyadari pandangan mata saya. “umur rumah itu sudah lebih dari 200 tahun”
sahut seorang pria tua menghampiri saya dan membuat saya sontak kaget melihat
wujud pria tua itu sudah ada di samping saya.
“ini
Buya Tuah” ucap Oom Rochman mengenalkan saya pada sosok pria tua yang tak saya
ketahui darimana datangnya. Saya pun mencium tangan Buya Tuah. Kulitnya kasar dan legam. Tentulah ia seorang
pria pekerja keras.
“Ayoo
naik…” ajak Buya Tuah mengarahkan saya dan oom Rochman pada sebuah rumah yang
letaknya hanya berselang dua rumah dari rumah panggung yang usianya sudah lebih
dari 200 tahun itu.
Mata
saya tak henti-hentinya mengagumi setiap bagian dari rumah panggung di desa
Pagardewa siang itu. Sungguh sajian
rumah panggung yang belum pernah saya lihat sebelumnya. Rumah rumah
sederhana dari kayu berkualitas prima dengan penataan yang sangat
bersahaja. Dari ruang tamu rumah
panggung, mata saya kembali takjub ketika melihat bentangan sungai yang luas
memanjang di bagian ujung kawasan desa. Pandangan saya kemudian lekat pada
beberapa pria dewasa yang nampak sedang mengemudikan kapal kecil di hamparan
sungai.
“wah,
sungainya luas…” ucap saya antusias.
“itulah
sungai Pagardewa” ucap Buya Tuah.
Saya
segera duduk mendekat Buya Tuah. Yakin beliau akan bertutur banyak hal setelah
seorang wanita paruh baya dengan senyum menawan menyuguhkan air putih dan
toples kue kering di meja tamu. “Pagardewa, satu-satunya tiyuh (desa) yang
tidak pernah berhasil di kuasai Belanda saat masa penjajahan…” Buya Tuah mengawali
penuturannya. Saya pun menyimak sembari sesekali melihat sekumpulan pria pria
dewasa yang nampak selesai berladang.
“Tiyuh
Pagardewa inilah yang disebut Tiyuh Toho di Menggala, karena memang desa
pertama yang menjadi kedatangan para penyebar agama hindu dan islam dari Banten
dulu…” kisah demi kisah terlontar dari Buya Tuah. Sesekali ia menghisap rokok lintingnya dalam-dalam. Ada
helaan nafas panjang setiap jeda kisah yang ia ucapkan. Dalam penuturannya, terkadang Buya Tuah mencoba mengingat-ingat beberapa nama tokoh,
tempat dan waktu dari setiap peristiwa yang ia uraikan.
rumah yang usianya sudah lebih dari 200 tahun di salah satu sudut dalam tiyuh Pagardewa |
suasana beranda rumah tua di tiyuh Pagardewa |
Saya kemudian senang sekali, ketika Buya Tuah mengizinkan saya untuk menaiki perahu kayu yang tertambat di bibir sungai. Hamparan sungai yang panjang dan lengang. Tak ada aktivitas penduduk mewarnai badan sungai. “antarkan ke seberang saja. Jangan terlalu ke ujung” ujar Buya Tuah pada pria yang mengendalikan perahu kayu bermesin tersebut, ditambah percakapan bahasa Lampung dialek O yang beberapa diantaranya tidak saya pahami. “sekarang sudah modern pakai mesin, dulu pakai dayung,hehehhe” sela Oom Rochman yang berkenan naik kapal bersama saya. “ingat ya, jangan terlalu ke ujung ya!!” teriak Buya Tuah sesaat setelah kapal kayu berjalan. “si Buya khawatir banget ya, Oom..” ucap saya pada Oom Rochman yang disambut dengan senyum.
Selama
menyusuri sungai, Oom Rochman menuturkan bahwa sungai yang kami susuri adalah
Way (sungai) Pagardewa yang merupakan muara pertemuan dari Way Kanan dan Way
Kiri yang selanjutnya bermuara di Way Tulang Bawang sampai pada Kuala Teladas.
Sungai sungai yang mengitari tanah Tulang Bawang memang telah jadi mata rantai
transportasi sejak dahulu. Sebagaimana para saudagar melakukan pencarian hasil
bumi dengan kualitas terbaik di Tulang Bawang hingga angkutan umum masyarakat
masa lampau yang sebagian besar menggunakan trasportasi sungai. Kini, sungai
sungai di kawasan Tulang Bawang praktis hanya berfungsi sebagai lahan mencari
ikan bagi sebagian masyarakat saja.
bentangan sungai yang lengang |
“Ayoo
cepat, cepat…” ujar pengayuh perahu kayu pada saya dan Oom Rochman sesaat
setelah perahu kayu merapat kembali kedaratan. “Cepat ….Cepat..!!!” teriak Buya
Tuha dari bibir sungai. Saya pun bergegas meninggalkan kapal kayu dan segera
menginjakkan kaki pada bibir dermaga kayu yang menghubungkan tambatan kapal
pada daratan. “kenapa sih disuruh cepat cepat?” tanya saya penasaran pada Buya
Tuha yang menampakkan ketegangan pada raut mukanya. “ada buaya!” sahut Buya
Tuha. “apa!!???. Buaya??!” saya terhentak. “ kamu tidak lihat, tadi ada buaya mendekati kita” bisik Oom Rochman
pada saya yang semakin membuat saya tercekat. “Oom lihat?” tanya saya pada Oom
Rochman yang dijawab anggukan.
Buya Tuha (bertopi) |
Buya
Tuha mengajak saya dan Oom Rochman duduk di beranda rumah kayu dekat bibir
sungai. Beberapa rekan Buya Tuha juga tampak disana. “Ada sarang buaya di ujung
sungai” ucap salah satu dari pria tua yang duduk dekat Buya Tuha. Saya pun menyimak penuturan teman teman Buya
Tuha tentang buaya di sungai Pagardewa. Konon, buaya buaya tersebut telah jadi
penunggu sungai jauh sebelum penduduk ramai menempati kawasan tiyuh Pagardewa.
Persembunyian buaya pun terletak persis di bagian ujung sungai Way Pagardewa.
Itulah mengapa para penjajah Belanda dahulu tak pernah berhasil menduduki
kawasan tiyuh Pagardewa. Buaya di way Pagardewa selalu menggagalkan usaha
penjajah merambah bagian tiyuh Pagardewa yang letaknya diapit oleh Way Kiri dan
Way Kanan. Saya pun jadi mengerti mengapa suasana sepanjang sungai begitu
lengang tak banyak aktivitas sungai seperti di pusat kota Menggala.
suasana lengang tiyuh Pagardewa |
Cukup
lama saya menyimak uraian kisah dari para sosok tua yang telah lama mendiami
tiyuh Pagardewa. Buya Tuha dan rekan rekannya menyuguhkan ragam kisah yang
sangat berharga untuk saya ketahui termasuk silsilah para pejuang yang dahulu
mendiami Pagardewa hingga memperluas ajaran ajaran islam di Tulang Bawang yang
sebelumnya banyak di diami oleh tokoh tokoh agama Budha. Tak hanya sekedar menyimak untaian kisah,
saya pun diajak oleh Oom Rochman mendatangi makam makam para pejuang dan juga
tokoh yang dahulu mendiami tiyuh Pagardewa. Seperti makam pahlawan islam – Haji
Pejurit – gelar Minak Kemala Bumi yang melakukan perjuangan diabad 14 dan wafat di
awal abad ke 16 hingga makam keramat Rio Mangku Bumi yang merupakan pejuang Tulang
Bawang termahsyur sejak abad ke 4 dan meninggal di penghujung abad ke 5.
Usai menyambangi makam makam keramat termasuk menyimak ragam kisah sejarah saya dan Oom Rochman pun bertolak kembali ke Menggala. Sungguh pengalaman berharga telah saya dapatkan dari kunjungan sepanjang siang di tuyuh Pagardewa. Tak hanya sekedar mendatangi langsung tanah leluhur orang tua tetapi juga mendapat sajian kisah mengandung sejarah tiyuh Pagardewa hingga budaya masyarakat Pagardewa yang masih berpegang teguh pada adat istiadat dan norma norma kehidupan Lampung nan agung. Jikapun mengalami kejadian nyaris disapa buaya di sungai Way Pagardewa, saya justru menganggap hal tersebut sebagai bagian dari perjalanan seru dari sebuah kunjungan ke kampung (tiyuh) tua (toho) Pagardewa. Suatu hari saya ingin kembali bertandang ke Pagardewa dengan merasakan bermalam di rumah Buya Tuha hingga terlibat langsung dalam aktivitas keseharian warga tiyuh Pagardewa. Semoga.
Usai menyambangi makam makam keramat termasuk menyimak ragam kisah sejarah saya dan Oom Rochman pun bertolak kembali ke Menggala. Sungguh pengalaman berharga telah saya dapatkan dari kunjungan sepanjang siang di tuyuh Pagardewa. Tak hanya sekedar mendatangi langsung tanah leluhur orang tua tetapi juga mendapat sajian kisah mengandung sejarah tiyuh Pagardewa hingga budaya masyarakat Pagardewa yang masih berpegang teguh pada adat istiadat dan norma norma kehidupan Lampung nan agung. Jikapun mengalami kejadian nyaris disapa buaya di sungai Way Pagardewa, saya justru menganggap hal tersebut sebagai bagian dari perjalanan seru dari sebuah kunjungan ke kampung (tiyuh) tua (toho) Pagardewa. Suatu hari saya ingin kembali bertandang ke Pagardewa dengan merasakan bermalam di rumah Buya Tuha hingga terlibat langsung dalam aktivitas keseharian warga tiyuh Pagardewa. Semoga.
Ajak aku kemari kakak...
BalasHapusPingin banget lihat sungai dan suasana rumah2 tua di sana.
mantab...terima kasih informasi videonya kami berada di aliran hulu way kirinya tepatnya di marga bunga mayang sungkai...
BalasHapus