Niat untuk dapat tandang ke Baduy itu
sebenarnya telah ada sejak masa kuliah dulu, meski berkali kali gagal akibat
padatnya jadwal – biasalah jadwal
manggung gue sebagai artis tingkat kecamatan kan super padet ya,!! . Sokiiyes!!.
Pagi itu, - lepas
Subuh tepatnya, saya telah berada di pelataran stasiun kereta Cilegon
setelah dijemput oleh mba Tati dari hotel Amaris Cilegon. Kapan lagi merasakan
digonceng motor oleh mba Tati. Hehehe.Cadass!!.
Rekan perjalanan lainnya, Zul, kang
Didi dan Rama pun berangsur hadir. Lengkaplah, tim yang berkenan menemani saya
mengunjungi Baduy pagi itu. Meski rencana untuk naik kereta api pukul 05.26
harus batal karena mba Iim bangun kesiangan – jadilah kami semua menunggu
kedatangan mba Iim dan harus merelakan tiket yang telah dibeli semula hangus!. Hhmmm,…. Untung tiketnya senilai 3 ribu rupiah
perorang!!, hahahah. Gak dimana mana ya, kalo berangkat
ramean pasti ada drama drama dikit.!.
Drama pagi buta kala itu dipersembahkan oleh mba Iim Karimah nyonyah Bojoh Deo!!. Dahlah!, hahahah.
dalam kereta Cilegon - Rangkasbitung
CILEGON
- RANGKASBITUNG
Akhirnya kereta pukul 06.40 pun membawa
kami dari stasiun Cilegon menuju stasiun Rangkasbitung pagi itu. Sebagai
perayaan atas kebersamaan yang lengkap sekaligus perayaan pertama kali saya
naik kereta dari Cilegon.Dalam
kebersamaan, tentu kami tak lupa mengabadikan diri di dalam gerbong kereta,
secara senang banget bisa ngeTrip
bareng reramean. Dan kami tak hanya
ber-6 saja, ada mba Donna Imelda yang berkenan gabung dari Jakarta.
stasiun Rangkasbitung
Setelah 1,5 jam dalam kereta malam, eh salah, kereta pagi, kami tiba di
stasiun Kereta Api Rangkasbitung yang memiliki nilai sejarah dan telah dibangun
sejak tahun 1901 itu. Mba Donna sudah
menunggu kami rupanya. Suasana seru pun langsung tercipta, secara lama tak
bertemu mba Donna.
Seusai tegur sapa – plus saling follow mem-follow akun sosmed antar mba Donna dan rekan lainnya, huhft, Penting!!!,kami pun meninggalkan kawasan stasiun Rangkasbitung
menuju bagian luar untuk mencari mobil angkot menuju terminal Aweh, lalu lanjut
mencari mobil Elf. Nah, saat mencari mobil Elf inilah makan cukup waktu karena
ada proses tawar menawar mba Tati dkk dengan sang sopir mobil Elf.Setelah disepakati harga sewa mobil Elf senilai
700 ribu dari harga awal 900 ribu, kami bertujuh pun berangkat menuju desa
Ciboleger yang merupakan pintu masuk menuju kawasan Baduy. Harga 700 ribu itu
cukup pantas untuk ukuran sewa kami bertujuh yang kelak akan dijemput kembali
oleh sang sopir. Karena kunjungan kami hanya sehari penuh tanpa bermalam.
mobil elf yang kami sewa seharga 700 ribu PP
yeeyyy...formasi lengkap kami ber 7.
BADUY
LUAR DAN BADUY DALAM
Setelah menempuh perjalanan 1,5 jam
dengan rute jalan yang lumayan aduhai, akhirnya kami bertujuh tiba di kawasan
desa Cibologer yang merupakan titik awal para pengunjung yang hendak menuju kawasan
Baduy. Baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam. Sebelum memulai perjalanan, kami
sempat menikmati mie instan sebagai menu makan siang disebuah warung kecil
dalam kawasan depan Cibologer. Lumayan,
ngeganjel perut!.
Baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar,
pada dasarnya semua disebut suku Baduy, yakni masyarakat etnis Sunda yang
tinggal dalam wilayah Banten, tepatnya di pegunungan Kendeng desa Kenekes
kabupaten Lebak , Penggolongan Suku Baduy.Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam memiliki perbedaan mendasar pada tatanan
adat yang berlaku dikeduanya. Masyarakat Baduy Dalam masih memegang teguh
konsep hidup ‘Pikukuh’ – yakni aturan adat yang memegang teguh kesederhanaan
atau ke-apa-ada-an dalam kehidupan mereka sehari hari. Sedangkan masyarakat
Baduy Luar secara garis besar telah memahami tata cara kehidupan modern. Secara keseluruhan pula, baik dalam kawasan Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak dilalui oleh kendaraan bermotor. Jadi seluruh aktivitas warga dilakukan denganc ara berjalan kaki.
Sebagai pendatang, kami melakukan wajib
lapor terlebih dahulu pada sebuah rumah dibagian depan pada desa Kenekes –
kawasan desa dibagian muka pada Baduy Luar.Setelah membayar uang retribusi kunjungan 4 ribu rupiah perorang, kami
sempat berbincang dengan si bapak empunya rumah soal adat istiadat Baduy. Setelah itu, sang bapak menunjuk Yumar – pria
tambun bertenaga gesit yang langsung memandu perjalanan kami kebagian dalam
desa. Oleh karena kami tidak berniat bermalam, maka kami menghabiskan sepanjang
siang hanya pada bagian Baduy Luar saja.Bagi saya, tandang kebagian Baduy Luar saja sudah menyenangkan, bisa
melihat langsung kawasan Baduy yang sejak dulu saya impikan itu.
mba Donna yang berbincang serius dengan si pemilik rumah
Rumah rumah tertata rapih pada bagian depan dari Baduy Luar
seorang ibu penenun kain khas Baduy
KESAHAJAAN
HIDUP SUKU BADUY
Aktivitas warga jadi pemandangan
menyenangkan selama memasuki kawasan Baduy Luar. Berpapasan dengan beberapa
warga sepulang dari kebun adalah sesuatu yang berharga untuk disimak. Melihat
lebih dekat aktivitas sehari-hari warga Baduy Luar yang begitu bersahaja. Begitupun dengan rumah rumah berbentuk limas
nan khas, beratap jerami dan kayu kayu kokoh sebagai penopangnya. Meski hidup
sederhana, tetapi masyarakat Baduy Luar juga memiliki kesadaran menjaga
kebersihan lingkungan. Hal ini terlihat dari bentuk tempat sampah yang terbuat
dari jalinan bambu yang merupakan kerajinan tangan warga. Sesuatu yang kreatif
dan inovatif dari masyarakat Baduy.
Tempat sampah Baduy Luar
Leit - Lumbung Padi
Bagi pecinta cinderamata khas Baduy,
jangan lewatkan untukshooping manjah di kawasan ini yaa … soale banyak kerajinan tangan khas
masyarakat Baduy yang layak untuk dijadikan kenang-kenangan bahwa kamu pernah
tandang ke Baduy, hehehe.
Siang itu, kami singgah di rumah yang
menjajakan beragam jenis kain warna warni.Alasan kami singgah dirumah tersebut, selain si mba manis yang
belakangan kami ketahui adalah seorang Ibu dari gadis cantik bernama Marsha.
Dikira masih gadis ternyata si ibu udah punya anak gadis yang cantiknya sungguh
memesona. Jadilah suasana belanja dan coba coba banyak barang jadi acara kami
dirumah tersebut. Selain batik dan tenun khas Indonesia, saya juga menaruh
ketertarikan dengan ragam jenis ikat kepala nusantara. Makanya, saya tidak
menolak ketika Yumar memperagakan bagaimana mengikat kain khas pria Baduy
dikepala saya.
Setelah mendapatkan barang barang favorite masing masing, kami melanjutkan
perjalanan menyusuri kawasan Baduy Luar. Kami sempat mendatangi rumah rumah kecil
berbentuk unik yang diberi nama LEIT – bangunan yang merupakan lumbung padi
khas masyarakata Baduy. Selain menemukan rumah hunian khas Baduy. Menyusuri
jalan setapak kebagian dalam dari Baduy Luar jadi kebersamaan kami selanjutnya
diantara hilir mudik warga dengan aktivitas harian mereka yang menarik untuk
disimak.
Tujuan kami siang itu adalah desa
Kaduketuk hingga kawasan Gajeboh. Agar jarak tempuh lebih kurang 2 jam tersebut
tak terasa melelahkan, maka sepanjang perjalanan kami isi dengan photo photo.
Lumayan buat bahan narsis di sosmed kan, hehehehe.
kami ber- lima dan mas Yumar - pemandu kami (berbaju coklat)
aktivitas warga sepulang kebun
Kami pun sempat berhenti sejenak untuk melepas lelah ketika menjumpai penjaja
kelapa muda di bagian jalan yang kami temui. Termasuk menikmati air mancur nan
sejuk yang juga kami temui dalam perjalanan sebelum akhirnya tiba di desa
Kaduketuk yang berdiri beberapa rumah khas dengan struktur bebatuan dibawah
bangunan rumah.
meminum air jernih pegunungan - photo by mba Donna
menikmati kelapa muda setelah lelah berjalan menanjak
bapak penjaja kelapa muda di tepi jalan
perjalanan memasuki kawasan Kaduketek
kontur jalan yang harus di lalui menuju kawasan Kaduketek hingga Gajeboh
Hunian warga
hunian warga desa Kaduketek
hunian warga masih dalam kawasan Baduy Luar
Kami pun tak melewatkan
singgah ke kawasan Gajeboh yang didalamnya mengalir sungai yang cukup deras.
Tak melewatkan kesempatan, kami pun menikmati aliran sungai alami nan asri
dengan merendamkan kaki, hingga saya tertarik menceburkan diri ke dalam sungai,
selain merasa gerah selama menempuh perjalanan juga tergoda dengan beberapa
anak kecil yang bermain bilah bambu di aliran sungai.
bersantai dialiran sungai
Usai menikmati suasana sungai dan
kawasan Gajeboh kami kembali pulang dengan melalui rute yang telah kami tempuh sebelumnya.
Dan ternyata cukup menguras tenaga. Meski begitu, kebersamaan sepanjang siang
itu cukuplah mengobati rasa penasaran saya akan kawasan Baduy. Meski tidak
sampai ke bagian Baduy Dalam. Tapi suatu saat saya berniat tandang ke Baduy
Dalam. Semoga.
tergoda mandi di sungai - photo by mba Donna
Sebelum meninggalkan kawasan Baduy
Luar, kami kembali singgah di kediaman Aswati – tempat kami membeli beberapa
cinderamata sebelumnya.Suasana santai
sore seusai berjalan kaki semakin menyenangkan ketika bertemu kang Udil – suami
dari sosok Aswati. Kang Udil tak hanya ramah menyapa kami tetapi juga piawai
memainkan alat musik khas Baduy Diantaranya, kalembing, Seruling dan Karenendi
yang semuanya ia buat sendiri.
kang Udil yang piawai memainkan alat musik khas Baduy - photo by mba Tati
saya dan kang Udil
Mengabadikan kebahagiaan kami bersama Kang Udil dan Istri di beranda rumah
Sungguh senang menyimak kang Udil
memainkan alat musik khas Baduy dihadapan kami sore itu. Bagai sebuah bonus sebelum meninggalkan
kawasan baduy Luar. Hilanglah lelah berjalan menanjak dan menurun sejak siang.
Apa yang saya harapkan selama ini, terwujud. Mendatangi kawasan Baduy tak hanya
soal tandang pada kawasan tradisional semata, melainkan mengenal langsung
kesahajaan hidup dan kepiawaian masyarakatnya ditengah modernitas yang
ditawarkan kehidupan.
Bahagiaaaaa, pulang2 capek tapi bahagiaaaaa. Bener2 recharging
BalasHapusMereka berbuat baik pada alam, damai dan tentram menghidupkan hari-harinya. Sudah minum dan memginjak tanah Baduy. Syaaaaah ke Banten hehe.
BalasHapusAh perjalanan yg seru banget ini. Baduy masuk bukclet list nih Om In..
BalasHapus