Aktivitas menunggang Gajah dalam kawasan Camp ERU - Photo by Endang Guntoro Canggu. |
….”bermalamnya
di Margahayu aja … “ saran Oom Yopie
– si empunya akun @KelilingLampung pada saya seminggu sebelum keberangkatan
menuju gelaran Festival Way Kambas tahun2017. Meski berkali-kali ke Way Kambas, tak sekalipun saya bermalam dekat kawasan Way Kambas tersebut. Itulah sebabnya
saya menyambut setuju ketika Oom Yopie menyarankan agar saya dan rekan-rekan
bermalam di dalam desa Margahayu yang jaraknya tidak terlampau jauh dengan
Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas.
heboohnya wefie di acara pembukaan Festival Way Kambas bareng ibu Bupati - photo by Bang Eka |
Beruntungnya,
bang Deni – salah satu panitia yang menangani kehadiran saya dan rekan-rekan
blogger memenuhi permintaan bermalam di Margahayu. Emang ada apa sih
di margahayu itu?, kenapa gak tidur di hotel aja?!!. Hhmmm… untuk tau
jawabannya, mari simak penuturan saya selanjutnya – chekidoot!!.
Rumah Konservasi dalamd esa Margahayu - tempat bermalam saya dan rekan-rekan pria |
BERMALAM DI RUMAH KONSERVASI
Gelap
malam menyambut kedatangan saya dan rekan-rekan di desa Margahayu. Saya pribadi tak tahu persis arah jalan
menuju ke bagian desa Margahayu. Yang saya ingat, rombongan kami sempat masuk
kebagian perkebunan tak jauh dari jarak pos penjagaan pertama setelah keluar
dari kawasan utama PLG. Mata saya masih
menangkap suasana perkebunan di kiri dan kanan dari jalan yang kami lalui. Kontur jalan yang kami lalui berbatuan
kerikil dan sisanya berupa jalan tanah.
antri ambil makan malam di pekarangan rumah mas Sunandar |
Malam
itu, setelah menghadiri acara pembukaan Festival Way Kambas 2017, saya dan rekan-rekan diarahkan menuju rumah konservasi atau penginapan
Himbio (himpunan mahasiswa jurusan biologi FMIPA Unila) sebagai sarana bermalam
kami di desa Margahayu. Sesuai namanya,
rumah konservasi yang kami datangi itu merupakan fasilitas bagi mahasiswa
maupun peneliti ilmu biologi bermalam. Tak heran bila bagian dalam dari rumah
terdapat ragam gambar flora fauna hingga beberapa rumus penelitian terpajang di
dinding. Berasa masuk kamar dosen Kimia gitu
deh...hehehehe. Saya dan rekan-rekan pria bermalam di rumah
konservasi sementara rekan-rekan wanita diarahkan bermalam di rumah mas
Sunandar. Namanya juga desa dalam kawasan TNWK, tentu tak ada hotel penunjang
yang bersifat mewah apalagi berbintang yaaa….
Bermalam dalam kawasan desa itu mendekatkan kita pada realitas hidup,
mengajarkan bersosialisasi langsung dengan masyarakat. Jadi tahu gimana kondisi
nyata masyarakat. Tapi kalo kamu Horang
Kaya yang alergi bermalam di lingkungan warga desa, saya sarankan jangan ke desa Margahayu dech, ke kota Metropolitan saja lebih banyak pilihan hotel megah
berbintang-bintang.
bang Mansyur, pak Camat dan oom Yopie |
photo bersama di depan rumah mas Sunandar |
MALAM KEBERSAMAAN PENUH KESAN
Usai menaruh
barang bawaan dan merebahkan diri sesaat, bahkan beberapa rekan sempat mandi – kalau saya sih males mandi yaa, hahaha, kami menuju rumah mas Sunandar untuk makan
malam.
Mas
Sunandar adalah ketua kelompok sadar wisata (pokdarwis) desa
Margahayu. Rupanya, di kediaman mas Sunandar telah hadir
beberapa sanak family yang turut menyambut kami dengan hangat dan hidangan
makan malam yang lezat. Saking lezatnya,
sampai saya nambah!!. Tapi antara lezat
dan rakus emang beda tipis lah ya, Hahahah… Btw,
makan siang dekat pejabat di area acara pembukaan Festival Way Kambas pada
siang hari sebelumnya aja saya nambah, apalagi makan malam bareng temen temen ,
hahaha… saya sih gitu orangnya, makan banyak, tapi gak gemuk-gemuk. Karena smua jadi kotoran!! Hahahah.
Nuansa
makan malam di pekarangan rumah berteman remang lampu seadanya justru menambah
kebersamaan malam itu. Saya dan rekan-rekan larut dalam beragam tema obrolan. Malam
itu, obrolan yang ditengahi oleh Oom Yopie bersama bang Mansyur dan bang Deni
dari Dinas KOMINFO Lampung Timur termasuk pak Camat yang menyempatkan hadir
menemui kami menjadi semakin menarik. Mulai dari hal-hal ringan hingga rencana serius
merancang desa Margahayu sebagai desa wisata menjanjikan dikemudian hari. Yang
menarik dan jadi gelak tawa ketika uraian pengantar pak Camat yang menghibur ;
…”sebenarnya gajah itu juga manusia, tapi dia binatang …”. Kalimat pembuka dari
pak Camat yang sungguh ambigu. Membuat ngakak
maksimal sekaligus melakukan pemikiran. – jadi sebenarnya, Gajah itu binatang apa manusia ??, hayyooohhh…hahahaha.
kondisi jalan menuju kawasan Camp ERU dari desa Margahayu |
Salah satu gajah yang kami temui dalam perjalanan dari desa Margahayu ke Camp ERU |
POTENSI UNIK DAN MENARIK DI MARGAHAYU
Sebagian
besar warga Margahayu berprofesi sebagai petani. Kebun karet dan ladang singkong jadi sarana
warga menyambung hidup. Meski begitu ada sisi menarik dalam desa Margahayu
sehingga layak jadi desa wisata potensial. Tak
jauh dari desa Margahayu terdapat Elephant Respon Unit (ERU) – yakni kawasan
penanganan konflik antara gajah liar dengan warga. Sebagai desa penyangga
kawasan Taman Nasional Way Kambas (TNWK), desa Margahayu menjadi kawasan yang
kerap ditandangi gajah gajah liar.
Beberapa konflik pernah terjadi antara kawasan desa Margahayu dengan
sekelompok gajah liar di tahun tahun sebelumnya. Meski kemudian dapat diatasi
dengan baik oleh para pawang gajah dan gajah jinak yang terlatih di camp
ERU. Kini, ancaman gajah liar tidak lagi
menjadi hal besar bagi warga desa Margahayu. Meski menurut penuturan warga desa
Margahayu, saat ini masih kerap kehadiran seekor gajah besar dalam kawasan desa
Margahayu. Gajah yang disebut warga sebagai gajah si Dugul atau Bedugul tersebut merupakan gajah soliter di TNWK yang
beberapa kesempatan tandang ke dalam kawasan desa tapi tidak melakukan
pengerusakan.
Mau tahu kisah saya di Camp ERU…
Click ini … CAMP ERU BUKAN TEMPAT WISATA.
TIWUL DESA MARGAHAYU
Selain
itu, beberapa warga dalam kawasan desa Margahayu merupakan pembuat Gatot atau Tiwul
dengan kualitas prima. Tau dong
Tiwul ?, itu lho, sejenis
kudapan bahkan tergolong makanan berat karena tercipta dari singkong yang telah
melalui proses pengolahan panjang, termasuk pengeringan sebelum kemudian dapat
dimasak dan dinikmati. “Beberapa ibu-ibu
rumah tangga dalam desa mengembangkan singkong hasil kebun menjadi tiwul yang
selain diolah menjadi panganan juga di jual kepasaran”, terang mas Sunandar
pada kami soal tiwul di desa Margahayu. Tak hanya sebatas cerita, kami pun mencicipi
tiwul karya orang tua dari mas Sunandar yang tersaji dengan siraman gula merah
dan kelapa parut segar. Soal rasa?, jangan disangsikan. Nikmat!!. Terlebih menikmati Tiwul hangat di pekarangan
rumah mas Sunandar yang teduh karena pepohonan rindang. Menyantap tiwul bukan
hal pertama bagi saya, dalam beberapa kesempatan, saya pernah menyantap tiwul
dengan urap bahkan bersama lauk pauk ikan asan dan sambal goreng. Kerajinan
pangan nusantara selalu mengagumkan.
Tiwul Desa Margahayu |
pekarangan rumah mas Sunandar yang di setting sebagai tempat bersantai sekaligus makan bersama |
Sebagai
desa wisata, Margahayu bukanlah kawasan berkonsep desa wisata pertama yang saya
datangi di kabupaten Lampung Timur. Sebelumnya saya pernah datang ke desa BrajaSari
dan Braja Luhur yang juga mengembangkan konsep desa wisata denagn potensi
menarik dan keunikan khas dari masyarakat setempat. Demikian pula dengan desa Margahayu, layak
dikembangkan sebagai desa wisata bukan hanya memiliki keunggulan dibidang
kreativitas warga semata, melainkan potensi alam yang indah dan juga sebagai desa yang dilalui oleh lintasan
gajah liar serta desa penyangga TNWK yang memiliki akses terbilang dekat dengan
camp ERU yang layak dijadikan acuan bagi pecinta wisata alam dan petualangan.
Meski begitu, sarana jalan penunjang akses ke desa Margahayu wajib terus
ditingkatkan untuk memudahkan akses pengunjung dikemudian hari.
Makan Pagi bersama di pekarangan rumah mas Sunandar |
sebelum meninggalkan rumah mas Sunandar, kami photo bersama dulu... |
Tertarik
untuk menikmati suasana desa Margahayu ?,
dapat menghubungi mas Sunandar di
nomor ponsel/whatsapp ; 081274251354. Mas Sunandar senantiasa berkenan
mendampingi kedatangan kamu. Pada bulan
Januari hingga Mei, desa Margahayu juga menerapkan tradisi menangkap ikan atau
udang rawa dengan alat tradisional berupa bubu atau jaring yang mereka pasang
pada sore dan diambil pada keesokan pagi.
0 comments :
Posting Komentar