Keterlibatan
saya menjadi tim relawan untuk bencana Palu dan Donggala di Sulawesi Tengah
berkat ajakan dari Mas Ayi – owner dari Green Edelweiss Foundation. Meski kepastian saya masuk dalam tim relawan
terbilang dekat dengan hari pelaksanaan. Tak hanya tim dari Green Edelweiss
Foundation saja, 2 sosok Puteri
Indonesia juga jadi bagian dari keberangkatan menuju Palu dan Donggala. Sonia Fergina Citra – Puteri Indonesia 2018
dan Wilda Situngkir – Puteri Indonesia Pariwisata 2018.
The Team ; Green Edelweiss, RSIA Budi Kemuliaan, Kak Rizal, Puteri Indonesia |
Pada 18
Oktober 2018, kami bertolak menuju Palu dengan pesawat komersil setelah
sebelumnya sempat ada rencana untuk menggunakan pesawat Hercules. Rombongan
kami tergolong lengkap. Selain ada dua sosok Puteri Indonesia yang peduli
terhadap bencana di Palu, ada pula tim medis dari RSIA Budi Kemuliaan, lalu
photographer dan videographer hingga kak Rizal, sosok pendongeng kawakan yang
kelak akan menghibur adik-adik di pengungsian.
Program Trauma Healing dan Kesehatan adalah hal utama yang menjadi misi
dari keberangkatan kami ke Palu. Meski ada ragam jenis bantuan dari para
donatur yang nantinya akan juga di distribusikan bagi para penyintas. Selain
itu, kami pun akan menyerahkan bantuan dari Mustika Ratu dan juga Yayasan
Puteri Indonesia selaku pihak yang menaungi para Puteri Indonesia. Saya pribadi
memiliki misi kemanusiaan dan bantuan membawa komunitas DGCI Lampung.
Mba Neta dan Tim Medis dari RSIA Budi Kemuliaan - memberikan pelayanan kesehatan di tenda-tenda pengungsian - photo by Rudy Photography |
LIKUIFAKSI DAN DUKA BALAROA
Cuaca
cerah menyambut rombongan kami kala tiba di Bandar Udara Mutiara SIS Al-Jufrie
Palu. Dampak gempa langsung terlihat di
bandara ini. Pagi itu kami langsung melakukan kunjungan ke beberapa titik
pengungsian usai menyelesaikan seluruh barang bawaan. Di pusat kota Palu,
sepanjang jalan yang kami lalui terlihat jelas bangunan dampak gempa termasuk
dampak tsunami disepanjang kawasan teluk Talise. Kami sempat singgah ke rumah pak Apriawan Jl. Asam Dua – Palu Barat – rumah warga
di kota Palu yang kelak akan kami tumpangi untuk bermalam sebelum melaksanakan
kunjungan ke tenda pengungsian.
Kawasan
Balaroa menjadi kunjungan perdana kami. Di kawasan ini, masing-masing dari kami
melaksanakan tugas sesuai dengan profesi. Tim medis dari RSIA Budi Kemuliaan
bertugas mendata kesehatan pengungsi dan memberikan obat-obatan sesuai dengan
keluhan warga. 2 sosok Puteri Indonesia sempat membantu pada dapur umum.
Mengemas bantuan berupa sembako dan menyiapkan paket makanan siap santap bersama
rekan-rekan TNI sebelum bergabung di tenda anak-anak memberikan hiburan bersama kak Rizal – Helo Dongeng. Jadi, salah besar kalau menilai Puteri Indonesia hanya soal cantik dan lenggak-lenggok saja. Mereka punya jiwa kepedulian sosial yang tinggi lho!.
menyipakan paket sembako untuk penyintas di pengungsian. |
kak Rizal yang begitu piawai mengendalikan anak anak dengan dongeng interaktif dan edukatif |
Setelah
tugas di pengungsian berakhir kami menyempatkan tandang ke kawasan perumahan
Balaroa yang terkena dampak dari likuifaksi. Puluhan hektar kawasan perumahan
ambles sedalam 20 meter oleh gempa dan disusul oleh fenomena semburan lumpur
dari perut bumi. “Kejadiannya begitu cepat, mas” ucap ibu Rima – salah satu
warga yang kediamannya tepat persis ada di bagian depand dari kawasan perumahan
Balaroa. Kejadian munculnya lumpur dan
menenggelamkan segala bangunan di bagian permukaan itu terjadi saat ibu Rima
sedang mengambil wudhu jelang maghirb di bagian depan rumahnya kala itu. “Setelah
gempa, tanah terbelah dua. Lalu semburan lumpur keluar begitu cepat seperti air
mancur. Dalam sekejab, bangunan rumah tenggelam oleh lumpur.” terang ibu
Rima sore itu. Sonia dan Wilda yang berada di kawasan perumahan
Balaroa yang telah rata oleh lumpur tak kuasa menahan kesedihan. Bahkan Sonia
tak sampai hati untuk mendekat kebagian dalam kawasan perumahan. “Sekitar
5.000-an manusia terkubur bersama bangunan perumahan akibat gempa dan
likuifaksi itu” ucap seorang pria yang saat itu saya tanyai. “Bisa jadi kawasan ini tidak akan dibangun
lagi. Layaknya telah menjadi kuburan masal berisi manusia dan semua bangunan
perumahan” jelas pria tersebut.
gampa dan likuifaksi yang menenggelamkan kawasan Balaroa sedalam 20 meter |
kawasan gempa Balaroa yang telah rata oleh tanah |
KABAR DUKA DARI PENGUNGSIAN
Di
hari berikutnya, rombongan kami mendatangi kelurahan Duyuk, sebuah kawasan yang
di tempati oleh ratusan pengungsi dari segala desa yang terkena dampak bencana
gempa parah. Tenda- tenda bantuan telah
tertata rapih dalam kawasan ini. Seperti aktivitas dihari sebelumnya, saya dan
rombongan melaksanakan aktivitas sesuai profesi kami masing-masing. Aktivitas trauma healing untuk anak-anak kali
ini dipusatkan pada teras masjid setempat. Dua sosok Puteri Indonesia tak segan
bersentuhan langsung dengan anak-anak di pengungsian. Sebagian dari anak-anak
tersebut kehilangan orang tua mereka. Bahkan ada sebuah papan pengumuman berisi
photo dari mereka yang sedang dicari keberadaannya. “Karena kejadian gempa dan
tsunami kala itu terjadi sore hari. Banyak warga yang saat itu sedang dalam perjalanan
menuju pulang ke rumah dan belum kembali hingga saat ini” jelas seorang warga
soal photo-photo yang terpampang di papan pengumuman tersebut. Sesak rasanya
dada mengetahui kisah tersebut. Terbayang rasanya kehilangan anggota keluarga
tanpa ada kejelasan keberadaannya.
Kisah
pilu lainnya kami dapati saat tandang ke desa Wani 2. Kawasan desa nelayan yang seluruh bangunan
telah rata oleh tanah. Tak ada yang tersisa selain puing bangunan. Kapal-kapal beragam ukuran terlempar ke dalam hunian
warga. Membuat suasana semakin pilu. Tergambarlah betapa hebatnya sapaan
tsunami hingga dapat membawa kapal ferry ukuran besar masuk kedalam pemukiman
warga.
OPTIMISME WARGA KAYU MALUE
Selain
mendatangi kota Palu, rombongan kami juga bergerak menuju bagian utara dari
Palu. Suasana duka tergambar selama
perjalanan. Nampak nyata ketika kendaraan yang kami tumpangi melalui kawasan
yang bersinggungan dengan bibir pantai Talise. Sepanjang kawasan habis tersapu
bersih. Tak ada sisa bangunan yang bertahan utuh. Teluk Talise yang indah itu
berubah mencekam. Puing bangunan berdampingan dengan pepohonan yang tercabut
bersama akar dan tumbang di permukaan tanah. Demikianlah kuasa pemilik semesta.
Kami
tiba di kawasan Kayu Malue yang di jaga TNI.
Kawasan yang semula tanah lapang tersebut beralih fungsi menjadi lahan
hunian warga dengan tenda-tenda yang di tata apik oleh TNI. “kami berada
disini, sehari setelah gempa dan tsunami di Palu terjadi” ujar seorang anggota
TNI pada rombongan kami. Sungguh upaya kemanusiaan TNI yang patut di apresiasi. Kami pun langsung menunaikan tugas sesuai
profesi. Bersentuhan langsung dengan ratusan pengungsi. Melaksanakan
pemeriksaan kesehatan warga dan menitipkan beberapa kotak bantuan yang berisi
obat-obatan dan bahan makanan dari beragam donatur yang telah berkenan
terlibat. Termasuk bernyanyi bersama ratusan pengungsi. Sonia dan Wilda tak
ragu membaur bersama warga diantara lagu lagu ceria yang didendangkan bersama.
sepanjang bibir pantai Talise yang hancur total |
kapal ferry yang terdampar ke dalam pemukiman warga di desa Wani 2 |
Duka mendalam
untuk Palu dan kawasan disekitarnya.
Sedih tak terbendung ketika melihat wujud kota yang dulu sempat memesona pada
kunjungan pertama saya di tahun 2011. Kini porak poranda oleh gempa, tsunami
dan likuifaksi. Jembatan Ponulele – jembatan berwarna kuning yang merupakan
ikon dari kota Palu runtuh tak bersisa. Tak kuasa menahan dahsyatnya terjangan
tsunami. Bentangan teluk Talise berlatar gunung Gawalise itu kini tak lagi
memikat mata. Hamparan duka dan wajah bencana menghias disekitarnya. Meski begitu, segenap warga di Palu dan
sekitarnya butuh bantuan beragam pihak. Bantuan untuk melanjutkan kehidupan. Bangkit
dari duka dan kembali bersemangat menjalani aktivitas keseharian mereka.
Duh, gqk kebayang ya kalau saya ada di posisi mereka. Mungkin gak kuat.
BalasHapusHebat ya para relawan yang mau mengesampingkan sebagian kesibukan guna membantu mereka. Salutttt!!!