Saat memutuskan untuk menikmati Bali dengan
bersepeda motor, Ubud dan Karangasem adalah tujuan utama saya. Meski kemudian sempat singgah
kebeberapa spot menarik sebagai bonus dari perjalanan. Tapi yang buat saya kebelet pengen ke Karangasem tak lain
karena ingin tandang langsung ke Pura
Lempuyang Luhur. Bukan hanya soal bentuk pura yang mengandung nilai sejarah,
tetapi ada keinginan untuk bersantai sembari seruput kopi berlatar gunung
Agung!. Sungguh keinginan yang receh sekali ya?, hahaha. Meski terbilang receh, tetaplah di jabani, lets go!
Setelah
sepanjang hari menikmati beberapa spot menarik di Karangasem, saya memutuskan
untuk bermalam di Amlapura. Sebuah kota dalam kabupaten Karangasem yang begitu
tenang. Tak banyak kendaraan hilir mudik di jalan utama. Saya sempat menikmati
makan malam disebuah pasar kuliner sebelum akhirnya memutuskan tidur lebih awal
di homestay karena akan memulai
kunjungan ke Pura Lempuyang pada pagi esok.
Ingin juga rasanya eksplorasi malam minggu di kota Amlapura. Tapi tahu
dirilah, besok saya butuh banyak tenaga.
Alarm
yang saya atur di dua ponsel berbunyi bersamaan pada pukul 4 pagi. Saya pun
bergegas mempersiapkan diri untuk mengendarai sepeda motor sewaan menuju Pura
Lempuyang Luhur. Berdasarkan informasi petugas homestay, saya butuh waktu 30
menit bersepeda motor menuju lokasi Pura
Lempuyang Luhur. Oh ya, berdasarkan obrolan dengan petugas homestay juga bahwa masuk ke bagian dalam Pura wajib
menggunakan kain, maka saya membawa serta kain hias yang ada di kamar homestay
yang kelak akan saya kenakan saat tandang ke bagian dalam Pura Lempuyang Luhur.
ranjang homestay dan kain kotak kotak itulah yang saya kenakan saat tandang ke Pura Lempuyang Luhur |
Melawan
udara dingin saat bersepeda motor seorang diri di pagi buta adalah hal seru. Beberapa
warga terlihat memulai aktivitas pagi mereka. Pasar tradisional yang saya lalui
pun mulai ramai. Menuju lokasi Pura Lempuyang Luhur tidaklah sulit. Selain
menyimak google map, saya juga
menggunakan GPS (Gunakan Penduduk Setempat) bila bingung akan rute jalan. Meski
sebenarnya rambu jalan menuju Pura cukup membantu. Pura Lempuyang Luhur terletak
di puncak bukit Bisbis atau Gunung Lempuyang. Sebuah Pura yang keberadaannya
tergolong tua di Bali. Bahkan diperkirakan telah ada pada zaman pra Hindu –
Budha.
Usai
melalui rute menanjak dan melewati beberapa desa tibalah saya di lokasi Pura
Lempuyang Luhur. Karena saya menggunakan sepeda motor maka dapat langsung parkir
di lokasi parkir dekat pintu masuk Pura. Tapi bagi yang membawa kendaraan roda
empat, maka kendaraannya diletakkan di desa Purahayu – desa terdekat dengan
letak Pura Lempuyang Luhur dan menuju lokasi akan diangkut dengan mobil bak
terbuka dan membayar Rp.20.000 per orang (PP). Hal tersebut dikarenakan areal
parkir untuk kendaraan roda empat di dekat lokasi Pura tidak memadai.
Wujud Gunung Agung telah terlihat dari desa Purahayu |
Mulanya,
pada tahun 1950 terdapat tumpukan batu dan sanggar agung yang dibuat dari pohon hidup di lokasi Pura Lempuyang Luhur
saat ini. Barulah pada tahun 1960 dibangun dua padma kembar dan sebuah padma tunggal bale piyasan dalam
kawasan Pura Lempuyang Luhur. Secara makna,
kata Lempuyang berasal dari kata ‘Lampu’ yang berarti Sinar dan ‘Hyang’
yang bermakna Tuhan, seperti Hyang Widhi. Jadi makna dari Lempuyang adalah
sinar suci Tuhan yang terang benderang.
Sebelum
kebagian dalam, seluruh pengunjung wajib mengisi buku tamu dan membayar uang
masuk seikhlasnya (saat itu saya bayar Rp.15.000,-) serta mengenakan kain yang
telah disiapkan oleh petugas. Dan
petugas memperkenankan saya memakai kain yang saya bawa sendiri dari homestay
(tepatnya, kain hias di kamar homestay). Sebelum masuk, petugas juga sempat menjelaskan
sejarah singkat Pura Lempuyang Luhur termasuk menjelaskan tata letak Pura,
fungsi dan beberapa hal yang dilarang untuk dilakukan oleh pengunjung.
beberapa warga yang akan melaksanakan Sembahyang di Pura Lempuyang Luhur |
Usai
mendapat penjelasan singkat oleh petugas saya bergerak menuju bagian dalam Pura
dengan rute jalan menanjak dan meniti beberapa anak tangga. Sembari berjalan
saya kembali mengingat penjelasan petugas bahwa ada Palinggih atau bangunan
suci yang terdapat di dalam Pura, yakni sebuah Padmasana yang terletak di
bagian utara menghadap ke selatan sebagai Parhyang Bhatara Luhuring Akasa. Lalu
dua buah bangunan suci lainnya berbentuk
padmasana yang pondasinya menjadi satu terletak pada bagian timur menghadap ke
barat. Dan yang sebelah utara sebagai Parhyangan Hyang Gnijaya dan yang di
sebelah selatan sebagai Parhyangan para putera beliau.
Sebenarnya,
saya sendiri tidak sampai pada puncak dari Pura Lempuyang Luhur. Saya cukup
berhenti di bagian muka dari Candi Gelung yang memiliki 3 tangga yang
menghubungkan ke 3 pintu dengan fungsi yang berbeda. Tangga di bagian tengah dilarang digunakan
oleh pengunjung umum karena hanya untuk kegiatan sembahyang atau upacara adat. Bentuk tangga pada Candi Gelung juga menarik
untuk disimak karena dilengkapi dengan arca Panca Pandawa yang terdiri dari
Krisna sebagai simbol Tuhan – reinkarnasi Dewa Wisnu. Lalu ada 5 arca yang
merupakan lima sifat luhur yang perlu manusia dapatkan secara bertahap untuk
dapat dekat dengan sang Pencipta. Terdapat arca Yudistira sebagai simbol
kepemimpinan yang bijak, Bima sebagai simbol kekuatan, Arjuna sebagai simbol
kecerdasan (intelektual), Nakula sebagai simbol hati yang baik, dan Saladewa
sebagai simbol keramahan.
Usai menyimak
bagian dari anak tangga pada Candi
Gelung saya menghabiskan waktu di depan Candi Bentar yang banyak dijadikan pose
berphoto para pengunjung. Terlebih wujud Gunung Agung dan suasana matahari
terbit yang kelak menambah keindahan
hasil photo. Bentuk Candi Bentar
serupa dengan posisi tangan Anjali Madra yang memiliki makna penyatuan. Candi
Bentar juga merupakan gerbang penyambutan bagi para pengunjung. Jadi di bagian
muka dari Candi Gelung itulah saya menghabiskan waktu pagi menunggu matahari
terbut untuk nantinya berpose di depan bangunan gerbang yang disebut dengan
Candi Bentar.
mayan, minta photoin pengunjung lain dapet nya begini (setelah dikasih sentuhan editing dikit) hahahah |
Karena
semalam turun hujan. Kabut di kawasan Pura Lempuyang begitu tebal. Saya dan
pengunjung lain butuh waktu dua jam untuk menunggu kabut bergerak
perlahan agar saat photo nantinya
terlihat wujud gunung Agung dikejauhan. Dan usaha menunggu pun tak sia-sia.
Wujud Gunung Agung pun nampak meski suasana matahari terbit tak begitu
bercahaya. Lumayanlah. Saya sempat mendapat informasi dari remaja sekitar Pura bahwa saat Gunung Agung meletus pada akhir 2017 silam, Pura Lempuyang tidaklah terkena dampak berarti. Hanya desa-desa yang berada di lereng gunung saja. "Malah banyak photographer yang memotret Gunung Agung dari Pura Lempuyang ini mas" ujar sang remaja yang saya tanyai.
Puas
berpose dengan latar gerbang Candi Bentar dan wujud Gunung Agung, saya bergegas
ke sebuah kedai kopi dibagian bawah dari Pura. Persis dekat loket tiket masuk
saat awal kedatangan. Disana saya memesan kopi hitam tubruk citarasa Bali.
Aroma dan rasanya benar-benar nikmat!. Terlebih saat saya menikmati secangkir
kopi berlatar Gunung Agung. Seketika
tubuh dan fikiran kembali segar saat melihat hamparan alam yang begitu indah.
Pepohonan hutan yang dijaga serta pemukiman warga yang bersih dan teratur. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 8.30. Saatnya saya kembali ke homestay untuk
mengemas barang dan melanjutkan perjalanan motoran ke kawasan Kuta dengan menikmati
waktu pelesiaran di Kuta Bali.
itu tempat terhits sepanjang tahun 2018.
BalasHapuswaktu kak indra ke sana, ramai sekali kah?
yup. pas aku dateng karena masih pagi gak terlalu rame...ada 8 orang aja laahh... emang kudu antri buat photo disitu yaa tau diri ajaa jangan lama lama hahahhaa
HapusSalu sama orang-orang yang berjejer antre oto di gerbang tersebut. Saya pernah lihat story instagram teman begitu ramai yang antre :-)
BalasHapusemang kalo udah diatas jam 7 pagi tamu lebih banyak ...makanya aku jam 4 pagi udah otw dari homestay ehehehhe
HapusKeren banget view Gunung Agungnya, kemarin mampir ke Karangasem nggak sempet ke Pura Lempuyangan.
BalasHapussuasana desa sekitar juga seru. aku aja mau lagi ke sana kalo nanti ke Karangasem lagi
HapusTravel blogger cadas ini. Sendirian menembus dingin Bali demi Pura Lempuyang. Tapi terbayar langsung dengan kayanya pengalaman seperti yang tertuang dalam pos ini
BalasHapusbener bangeeedddd.....pagi buta kedinginnan kebayar ama view tjakep nya hehehehe
Hapusseriusan sendirian? wuieehhhh, dahsyat bang! Menikmati kopi dgn latar gunung Agung sesuatu bgt tuh!
BalasHapusyes... sendirian dan photo nya minta di photoin sama orang .. gunakan TONGBROH (tolong dong Broh) heheheheh
HapusOh, Candi bentar itu tempat foto yg kece badai tapi antriannya bisa mengular panjang banget ya?
BalasHapusSaya tandai postingan ini karena saya juga ingin ke kawasan Pura Lempuyang ini. Ahahaha
yup. antriannya emang banyak buat photo. tapi kalod ateng lebih awal, antrian masih sepi hehehehe...makanya aku udah jalan jam 4 menuju Candi.... kalo udah jam 8 pagi ruame bgd! hehehehe...aku pun masih ebrharap bisa kesini lagi...
HapusPemandangannya amazing banget ya bikin betah
BalasHapusyup mba... pinginnya berlama - lama tapi sadar diri ada jadwal lanjutan hehehehe kelak bakal kesini lagi...
Hapuskemarin waktuku terbatas banget di Karangasem.. huhu belum sempat ke pura ini.
BalasHapus