“Kita
bakal ke Ujung Kulon!.” jelas mba Tati singkat saat saya tanya soal lokasi
kunjungan. “Tepatnya, kita ke desa yang paling dekat dengan kawasan Ujung
Kulon” sambung mba Tati menenangkan. “Berarti kita
bisa photo di tugu yang ada badaknya
itu kan, mba?!” tanya saya penasaran.
“Tenang, kita akan cari itu tugu. Kalo
gak ketemu tugunya, kita buat sendiri lah,
hihihi.” Emang mba Tati suka melucu yang tak lucu, hhmm.
Yup,
soal bentuk tugu dengan wujud badak di bagian atasnya itu adalah sesuatu yang iconic. Bentuk tugu yang pernah saya lihat di buku
sejarah dan yang paling mewakili ingatan saya akan kawasan Ujung Kulon. Jadi
tak heran bila saya sangat berharap bisa mengabadikan diri di tugu berhias
wujud badak bertuliskan kalimat ‘Selamat Datang, Welcome To … Ujung Kulon’.
Bentuk Tugu yang layak di perbaiki termasuk kondisi jalan yang aduhai |
Maka
tak heran bila saya bahkan nyaris seluruh rekan dalam rombongan begitu bahagia
mengabadikan diri di tugu berwujud sederhana dengan sosok badak di bagian atas
yang kami temui di sebuah kawasan yang menandai bagian muka dari kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon (TNUK). Hilanglah gerutu saya soal jauhnya jarak yang
wajib kami lalui untuk tiba di bagian depan dari kawasan Taman Nasional Ujung
Kulon. Butuh lebih dari 7 jam perjalanan
dari Cilegon untuk singgah ke beberapa kawasan pelaksanaan kegiatan sebelum
kemudian bermalam di desa Pendey dan kembali menempuh lebih dari 1 jam untuk
tiba di tugu badak bertuliskan selamat datang tersebut.
all Genks |
MENGENAL TAMAN NASIONAL UJUNG KULON
Sebagai bonus bersenang-senang usai kegiatan sosial, satu
persatu kami berphoto dengan tugu yang nampak usang tersebut. Sebagai penanda sebuah kawasan, bentuk tugu
sungguh butuh perbaikan. Bentuk lampau nan sederhana dengan kondisi yang
terlihat keropos di beberapa bagian di tambah bentuk tulisan yang tidak lagi bersandar
kokoh. Beberapa huruf tampak hanya berupa sapuan warna cat yang di pulas
seadanya. Padahal, berphoto di tugu sederhana tersebut bagai menjadi penggenap
kunjungan di kawasan Ujung Kulon. Meski sebenarnya hal tersebut hanya berupa perkenalan
saja.
Tepat
beberapa langkah dari posisi tugu terdapat sebuah bangunan. Mulanya, saya menduga bangunan berbentuk rumah
panggung tersebut adalah sebuah penginapan. Ternyata dugaan saya salah.
Bangunan tersebut merupakan salah satu pos penjagaan yang memuat beberapa
informasi penunjang yang dapat di manfaatkan pengunjung untuk mengetahui lebih
banyak seputar kawasan Taman Nasional Ujung Kulon.
Dalam
bahasa Sunda, Kulon berarti Barat. Jadi Ujung Kulon bermakna kawasan yang
terletak di ujung bagian barat dari pulau Jawa. Begitu jelas seorang petugas
saat saya tanyai soal nama Ujung Kulon dan sejarahnya. Dahulu, Ujung Kulon masuk dalam teritori Jawa
Barat sebelum menjadi bagian provinsi Banten. Bahkan gunung Krakatau dan
beberapa pulau di sekitarnya dahulu sempat masuk dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Masyarakat yang tinggal di desa-desa dekat
kawasan Ujung Kulon hidup makmur sebelum bencana meletusnya gunung Krakatau yang
menghancurkan pemukiman dan kemudian berwujud hutan belantara yang kini menjadi
bagian dari hutan lindung dalam Taman
Nasional Ujung Kulon.
Petugas
pada pos penjagaan tersebut sempat menjelaskan gambar peta dari kawasan Taman
Nasional Ujung Kulon pada saya. Peta
yang terpajang di dinding ruang depan tersebut memuat informasi secara gamblang
akan luas kawasan TNUK yang mencapai 122.956 hektar dengan 443 kilometer
persegi nya adalah kawasan laut yang terbentang dari semenanjung Ujung Kulon
hingga Samudera Hindia. Melihat luas kawasan TNUK pada peta yang terpajang
tersebut membuat saya berdecak kagum akan kekayaan hayati yang nusantara miliki
hanya dari letak Taman Nasional Ujung Kulon. Beragam habitat flora dan fauna
berada dalam Taman Nasional Ujung Kulon meski jumlah badak bercula satu yang berada dalam TNUK kini hanya sekitar 60 badak saja.
Genks di atas Kap Mobil |
NAPAK TILAS JEJAK BADAK DI JALAN
CADAS
…”di
bagian dalam ada juga pos penjagaan khusus memantau gerak gerik badak termasuk
ada penginapan bagi pengunjung.” ujar Tomi pada saya usai saya mengagumi luas
kawasan TNUK pada peta yang terpajang. “Oh, ya?!” sahut saya datar.
Sejujurnya,
nyali saya mendadak ciut ketika mendapati fakta bahwa untuk menghampiri letak
habitat badak dalam kawasan Taman Nasional Ujung Kulon itu butuh berjalan kaki
berhari-hari. Itu pun bukan jaminan bisa menatap langsung wujud badak. Luluhlah
semangat saya yang tadinya berfikir bahwa dapat melihat langsung wujud badak
hanya dengan menghampiri pos penjagaan usai berphoto di tugu yang ada wujud
badaknya. Hah!.
Saya
pun memutuskan untuk santai bersama rekan-rekan pria ketika Tomi mengajak serta
rekan-rekan wanita menaiki mobil Land Rover Series-nya ke bagian dalam seperti
yang ia maksudkan pada saya.
…”mereka
kira enak naek mobil itu ke bagian dalam dengan kondisi jalan rusak!. Hah!.”
cibir saya pada rombongan wanita yang lebih dulu di angkut Tomi lengkap dengan
ekspresi ala Leli Sagita. Terbukti, tak lama dari saya berucap, jeritan keras
rekan wanita terdengar jelas. Nah!, dapat saya pastikan para wanita itu
berpuntal-puntal dalam bak mobil dengan badan jalan yang berlubang. Rasakan!!!.
pos bagian dalam dimana kami bertemu mas Rifky dan pak Rahman |
Saya masih menikmati kebersamaan dengan
rekan-rekan pria di beranda pos penjagaan yang tak jauh dari letak tugu badak
dimana kami asik berphoto puluhan menit sebelumnya. Hingga berselang puluhan menit kemudian Tomi
menghampiri kami. “Yok!, di ajak rombongan cewek ke hutan Mangrove!” ajak Tomi. Wah,
hutan mangrove!. Terdengar menarik. Saya dan rekan-rekan pun beranjak menaiki
mobil Land Rover Series miliknya Tomi yang telah berjasa mengangkut segala
barang bantuan sejak dari Jakarta hingga ke beberapa lokasi kunjungan. Kami pun
mengatur posisi di mobil cadasnya Tomi tersebut. Sebagian berada di dalam bak.
Sebagian lagi, termasuk saya berada di bagian atas kap mobil. “Siap siap nih!,
bakal seru duduk di kap mobil dengan badan jalan yang cadas!” ucap mas Zul.
Saya sih siap
saja. Meski deg-deg-an juga hahahah.
Anggap saja sedang uji nyali.
Kenyataan
menuju bagian dalam seperti yang Tomi maksud memang tak berbeda jauh dari yang saya
bayangkan. Badan jalan berlubang dan becek berlumpur membuat suasana semakin
seru. Sepanjang jalan saya tak henti menjerit histeris kala mobil melalui medan
jalan nan aduhai. Kami sempat melalui letak pos Legon Pakis yang menurut Tomi
banyak di gunakan sebagai tempat bermalam para pengunjung yang melakukan
tracking menyusuri kawasan TNUK. Untungnya,
aksi beringksak saya dan rekan-rekan
bersama mobil yang di kemudikan Tomi di jalan cadas berakhir di sebuah pos bangunan
sederhana dengan halaman nan asri.
sorak bahagia usai berpuntal-puntal berkendara |
mas Rifky memimpin tracking |
TANDANG KE PERTAPAAN DAN BAHAGIA DI SARANG BUAYA
Kami
bertemu dengan mas Rifky dan pak Rahman yang bertugas menjaga pos yang konon
berfungsi sebagai pemantau aktivitas badak dalam TNUK. Usai perkenalan dan berbincang
sejenak, mas Rifky berkenan memandu kami menyusuri hutan untuk menuju kawasan
hutan mangrove yang di maksud. Meski perdana mengetahui kawasan tersebut, saya langsung
jatuh hati. Sesekali saya mengendus
aroma khas hutan hujan tropis Indonesia
saat melangkah dalam belantara. Beragam tumbuhan menghias di sepanjang jalan
setapak yang kami lalui. Saya pun takjub ketika mas Rifky menuturkan
bahwa jalan setapak yang kami lalui adalah jejak badak. “tapi dulu mas,
sekarang badak-badak nggak di sekitar
kawasan ini, harus berhari-hari tracking
ke bagian dalam” tunjuk mas Rifky ke arah hutan.
Mata
saya melihat sebuah batu diantara pepohonan rindang kala rombongan kami sedang menyusuri
jalan menuju letak hutan mangrove. Bebatuan menyerupai dinding besar tersebut memiliki celah seperti sebuah pintu menuju
ruangan di bagian dalamnya. “itu goa?” tanya saya pada mas Rifky. “Tempat napak tilas. Beberapa peziarah sering
datang dan menjadikannya tempat pertapaan” ujar mas Rifky lugas. Seketika saya takjub mendengar kata pertapaan
sekaligus bergidik!. Seolah tempat mistis. “Mau masuk boleh kok” ucap mas Rifky pada saya. “Kalo sendirian
saya takut.” Jawab saya. “ Pada mau masuk gak?” ajak saya pada rekan lain. Jiwa
penakut saya pun mucul!, hahaha. Beruntung, rekan-rekan lain berkenan masuk
kebagain dalam. Wujudnya ternyata bukan
sebuah goa. Hanya batu besar yang membentuk sebuah ruangan pada bagian
dalamnya. Yang menarik bahkan membuat saya semakin bergidik adalah kala
mendapati 3 buah makam yang bentuknya terpelihara dengan baik di balik bebatuan
tersebut. Terlihat kain putuh yang membungkus dan terurus baik pada bagian
nisan. Lokasi sekitar makam pun tergolong bersih dan terawat dengan baik. Terlihat
sebagai lokasi pertapaan seperti yang di maksud mas Rifky. Saya pun tak berminat
bertanya banyak pada mas Rifky. Bahkan saat berada dekat dengan letak makam pun
saya mengunci mulut rapat-rapat termasuk menghilangkan fikiran yang
macam-macam.
tampak depan dari bebatuan yang membentuk ruangan ke bagian dalam |
3 makam keramat lokasi pertapaan dan kunjungan para peziarah |
Kami bergegas
melanjutkan perjalanan menuju letak
hutan mangrove usai memuaskan hasrat penarasan akan wujud makam yang terletak
di balik bebatuan. Garis pantai yang
bersinggungan dengan jalan setapak yang kami susuri menambah suasana seru
kebersamaan siang itu. Semakin seru ketika kami melihat sebuah jembatan yang
membentang diantara muara yang di tumbuhi oleh pepohonan mangrove. Meski kondisi jembatan terbilang usang,
cukuplah memuaskan bahagia kami yang telah memulai berjalan kaki menyusuri
hutan dengan harapan mendapati sesuatu yang menyenangkan untuk di
abadikan. Mas Anton pun berinisiatif
mengabadikan moment kebersamaan kami di
badan jembatan sembari terlentang dan di shooting dengan drone. Meski senang,
fikiran saya mendadak cemas ketika mas Rifky menuturkan bahwa area muara di
sekitar jembatan adalah sarang buaya. “ini
wujud buayanya” ucap mas Rifky menunjukkan hasil bidikan kamera ponselnya pada
saya dan beberapa rekan. Meski cemas dan
tahu area muara dimana kami mengabadikan kebersamaan adalah sarang buaya, tetap
saja kami mengabadikan moment photo berkali-kali hingga sempat menyambangi pasir
timbul yang letaknya tak jauh dari area muara dan pepohonan mangrove.
indahnya muara, pasir pantai dan bentangan samudera. |
jembatan usang di antara pepohonan mangrove dan muara sarang buaya |
Menatap
bentangan hutan, muara dan samudera hingga menyadari diri berada di titik Ujung
Kulon seolah berkah tersendiri bagi saya. Hari itu, 24 Februari tepat ulang tahun saya. Tak pernah terbersit bahwa suatu hari akan menikmati masa bertambahnya usia di Ujung Kulon. Memaknai pertambahan usia dalam keindahan alam
anugerah Pencipta dan rekan-rekan dengan keindahan jiwa. Beruntungnya saya. Tak salah bila anak anak
kampung Cimenteng – desa Taman Jaya menghadiahi saya sebuah do’a ; “… panjang
umurnya sekarang juga, sekarang juga…”.
Makamnya siapa ya
BalasHapus