Dermaga pelabuhan Badas - Sumbawa. |
Kami telah
bersiap diri dan mengemas barang sejak pagi. Setelah melalui malam yang penuh
kesan. Mulai dari masak suka-suka sesuai selera di warung makan, hingga
terlelap dirumah bidan Mala.
Sesuai
jadwal yang telah disepakati, pukul 7
pagi kami harus meninggalkan pulau Moyo untuk segera berlayar kembali ke
pelabuhan Badas. Meski kemudian kami
harus menunda keberangkatan karena gelombang laut terbilang besar. Bisa jadi
karena semalam hujan deras.
dermaga desa Labuhan Aji - pulau Moyo saat ombak tenang. |
“kami
pastikan dulu ombaknya aman, baru kita jalan…” ucap pak Mahdi empunya kapal
yang kemarin mengantarkan kami tiba di
pulau Moyo dengan selamat. Saya terdiam. Begitupun yang lain. Tak mungkin kami
memaksa keberangkatan bila sang nahkoda dan empunya kapal tak yakin aman berlayar.
Sang pakar tentu lebih paham kondisi medan ketimbang saya dan rekan-rekan
lainnya. Jadilah pagi itu kami isi dengan bincang banyak hal sembari sarapan di
pondokan kayu depan warung persis berseberangan dengan rumah bidan Mala.
Baca juga kisah kunjungan kami ke Pulau Moyo ; BERWISATA KE PULAU MOYO
Dua
jam berlalu dari jadwal keberangkatan semestinya. Wajah-wajah cemas mulai
melanda. “jangan dipaksa bila tak memungkinkan. Tak masalah kalo saya harus
bermalam lagi disini.” sahut mba Lieke pada awak kapal. “Aman!. Kita bisa
berangkat.” jawab sang awak kapal segera. Bergegaslah kami menuju dermaga didepan
desa Labuhan Aji untuk menaiki kapal yang kemarin membawa kami setelah melakukan do'a bersama. Tapi lagi-lagi ombak laut memecah di tepi
pantai. Kapal yang akan kami naiki pun goyah di bibir dermaga. Berkali-kali
mencoba untuk naik ke dalam kapal, selalu gagal. Ombak makin besar lengkap
dengan seruan gemuruhnya yang menggelegar!. Kamipun takjub takut. Hanya bisa
melempar ransel kedalam badan kapal. Sementara badan kami tak kuasa. Beberapa
warga menyarankan kami untuk menaiki kapal dari dermaga Amanwana – sebuah
kawasan resort mahal yang kerap jadi lokasi pelesiran para pesohor bila ke
pulau Moyo. Kami pun mengikuti saran tersebut. Menumpanglah setiap kami pada
sebuah sepeda motor milik warga yang masing-masing kami membayar Rp.50.000 – anggap
saja, biaya tambahan untuk berganti dermaga agar dapat masuk kedalam kapal
ketimbang diterjang ombak. Tenggelam, hilanglah badan!.
kondisi kapal di dermaga desa Labuhan Aji. kami hanya titip barang dan bergesar menuju dermaga Amanwana. |
Photo bersama sebelum memulai pelayaran dari dermaga Amanwana!. |
SAPAAN MAUT GELOMBANG LAUT
Usai
menyusuri jalan sepanjang 7 kilometer ke dermaga Amanwana, lengkap dengan kejadian
motor yang saya tumpangi terbalik akibat melalui jalan licin, kami berhasil masuk kedalam
kapal. Ombak dibibir dermaga Amanwana tidak
seganas ketika di dermaga desa Labuhan Aji. Halangan untuk kembali ke Sumbawa
pun berhasil kami lalui. Meski halangan sesungguhnya sedang mengintai.
Kapal
kayu yang kami tumpangi dihalau ombak. Sejak mula pelayaran hingga saat
kebagian tengah mengarungi laut Flores. Beberapa diantara kami mulai panik.
Terlebih ketika gelombang besar menerjang dan percikan air laut mulai masuk
kedalam badan kapal. Dalam suasana tegang, tak bisa saya merebahkan badan.
Berkali-kali saya menghaturkan doa permohonan pada sang Pencipta. Komat kamit
menutur do’a pun terlihat dari beberapa wajah. Suasana senang dapat berlayar tetiba
tegang!. Gelombang tinggi berkali-kali menyentuh badan kapal dan menghasilkan
gamang ditengah lautan. “Tuhan selamatkan saya” bisik saya memanjatkan doa. “Bapak
bisa berenang?” tanya mba Lieke pada penumpang pria paruh baya warga pulau
Moyo. Yaelaahhh…. Sempat-sempatnya
mba Lieke bertanya soal si bapak pandai renang atau tidak, ditengah kepanikan
kami semua menjaga badan yang mulai berpindah posisi akibat ayunan gelombang
laut!!.
Saya
pun semakin takut. Terlebih saya sadar diri tak pandai berenang sama sekali!!.
Di kolam renang saja saya tenggelam, apalagi di laut lepas begini!!. Tanpa Life Jacket pulakk!!!. Mateekk Ngana!!!. “Tuhan selamatkan
saya!!!” pekik saya dalam hati semakin keras. Semakin kuat sapaan gelombang
semakin kuat saya memanjatkan do’a. Satu persatu tubuh dalam kapal merebahkan
diri. Semakin saya takut menghadapi kenyataan. Tidaklah saya dapat memejamkan
mata. Terlebih kedua kaki saya dipegangi erat si Bambang yang takut bukan
kepalang sejak pertama ombak besar menghantam. -Bambang fikir kaki saya pelampung kale!!!.
Mba
Donna merebah kaku disamping badan saya. Tak lagi nampak wujud anggun diri nan senyum
menawan. Tak pula sempat pasang gelang-gelang ditangan atau kain ikat warna senada dikepala.
Meski sesekali ia berusaha membuka ponselnya.
Saat
ombak besar bertubi-tubi menghantam, saya sempat melayangkan pesan singkat pada
istri agar mengiringi pelayaran saya dengan do’a selamat.
… saya dalam pelayaran. Ombak besar sekali. Mohon doa untuk keselamtan
saya. 2 jam lagi saya kabari…
Pesan
terbaca, tapi tak berbalas. Bisa jadi Istri saya sudah baca dan langsung
berdo’a. Semoga.
Menit
demi menit berlalu, dua jam pelayaran terasa lama. Berhari-hari rasanya. Sekuat
tenaga saya memejamkan mata untuk dapat tertidur pulas seperti beberapa orang
tapi tetap saja gagal. Saya pandangi semua tubuh yang tergolek pasrah di badan
kapal. Sungguh pertaruhan nyawa dari sosok yang tak tahu harus melakukan apa.
Saya pribadi mulai mencari-cari cara untuk menyelematkan diri bila sampai kapal
karam. ….”Aaarrgghhh!!!. Jangan
perfikir yang macam-macam!” teriak saya pada diri sendiri. Berpuluh kali saya memikirkan hal-hal
positif, tetap saja puluhan hal negatif memenuhi kepala.
MENGHARAP KEAJAIBAN ; BERTEMU
DARATAN.
Kapal
kayu terus bergerak. Ditengah hempasan ombak besar dalam bentangan laut yang
tak bertepi. Berkali-kali mata saya membelalak melihat tingginya gelombang
laut. Beberapa rekan tampak terbujur lemah memasrahkan nasib badan
masing-masing. Beberapa awak kapal menatap wajah saya yang tegang tak bisa
merebah tidur seperti yang lain. Bisa jadi penumpang lain, si bapak-bapak paruh
baya itu menertawakan wajah panik yang telah saya pasang sejak awal pelayaran. Tak
pernah menyangka akan mengalami adegan bak potongan film Perfect Storm.
Cemas
terus berlanjut. Meski semua orang disekitar saya tertidur pasrah. Bisa jadi
mereka semua berfikir soal penyelamatan diri bila kapal yang kami tumpangi
kelak tenggelam. Bisa jadi mba Lieke sedang mengintrogasi rekan lainnya soal kepandaian
berenang mereka. Bisa jadi pula mba Donna telah mengirimkan pesan melalui
ponselnya agar datang bala bantuan, helikopter, atau apapun yang bisa
menyelamatkan kami. Dua jam waktu pelayaran semakin tak berkesudahan. Sedang
terjangan ombak semakin menjadi-jadi. Bila saja amarah ombak dapat reda dengan puluhan lagu dangdut, berkenanlah saya berdendang untuk si Ombak!. Lengkap dengan
goyang chebox dan jogged super faedah!. Please…Ombak
tenanglah barang sesaat saja.
harap harap cemas berharap menemukan dataran pelabuhan Badas |
Helaan
nafas di ujung kerongkongan dan detak jantung yang pasrah melambat berangsur
membaik ketika gugusan pulau terlihat dari kejauhan. Pelabuhan Badas menanti
kami. “Ia kalo selamat sampai ke
pelabuhan Badas?!” seru sisi negatif dalam badan saya. Dua nahkoda kapal yang bertugas silih berganti
itu seolah sedang berjuang untuk keselamatan seisi kapal. Meski kadang saya
gemas lihat pembawaan mereka mengatur kemudi kapal yang seolah sedang bertanding
balapan dalam wahana permainan. Huhft!!.
Perlahan
kapal mendekat ke tepian. Bentuk daratan itu begitu nyata. Kapal-kapal besar
terlihat. Jika pun kehendak Tuhan membalikkan kapal yang kami tumpangi,
setidaknya ada puluhan pasang mata yang bekerja di dermaga melihat kami dan
kemudian membantu menyelamatkan kami.
Huuuhhhhggggg!!!!!. Saya berteriak lega, ketika kapal
yang kami tumpangi benar-benar mendekat ke bibir dermaga pelabuhan Badas. Seisi
kapal bersorak. Suka cita nyata terlihat. Rona wajah pucat pasi penuh takut
berubah binar bahagia. Teriak lega memecah setelah dua jam bertaruh nyawa di
laut Flores yang tengah mengganas. Peringatan larangan berlayar di bulan
Januari dan Februari itu benar adanya.
Kamipun
bergegas keluar dari kapal. Layaknya keluar dari keranda kayu yang berpuluh
tahun mengapung di laut lepas!. Sebelum berlalu, saya sempatkan menjabat erat
dan berucap terima kasih pada si pemilik, nahkoda dan awak kapal termasuk 2
pria warga pulau Moyo yang ikut serta dalam pelayaran kami. Kami selamat!. Maka
photo bersama usai dua jam bertaruh nyawa pun adalah kewajiban. Termasuk
bergegas mengisi perut yang kelaparan dan meregangkan otot badan yang terasa
kaku selama pelayaran.
mengeabadikan diri dengan salah satu nahkoda yang telah membawa kami selamat kembali ke Sumbawa. |
mengabadikan wajah-wajah usai bertaruh nyawa! Alhamdulilah Selamat!!! Something Memorable!!! |
Bila
pengorbanan untuk tandang kesuatu objek wisata itu benar adanya, maka apa yang
terjadi pada saya dan rekan-rekan dalam pelayaran sekembalinya kami dari pulau
Moyo dapatlah dikatakan sebagai pengorbanan untuk pembuktian indahnya air
terjun Mata Jitu dan pemandian mendiang Puteri Diana benar-benar nyata. Kapok?,
tentu tidak!!. Meski tetap waspada akan keselamatan diri diatas segalanya. Karena
setiap kisah perjalanan menjadi bagian hikmah dari pelajaran hidup yang
sebenarnya.
ish.. bikin pengen ke sana.. huhuhu
BalasHapusaku aja mau kesana lagi. semoga nanti pas summer. amin.
HapusGue udah gak bisa mikir saat harus lompat ke kapal yang terombang-ambing di dermaga. Terus lega melihat tenangnya air di dermaga Amanwana. Makanya bisa foto senyum sebelum berangkat. Tapiiiii... Setelah ituuu, bayangan buruk hilir mudik di kepala gue. Cuma bisa berdoa,istighfar dan berharap. Bolak balik liat hape itu ngeliat jam, berapa lama lagi sampai daratan dan masih bisa selamatkah sampai ke daratan hahaha. Hadeeeeuuuuh...
BalasHapusYEEEYY...akhirnya Selamat tanpa KELERU
HapusWaduh kalo aku yg di kapal mungkin udah pucat dan muntah. Part mas bambang megangin kaki itu kok kocak :))
BalasHapusBambang udah panik sejak kapal pertama berlayar.
HapusMas kalau mau naik kapal ke moyo ada contact person kah untuk bantu arrange tiket kapal? Atau langsung ke pelabuhannya? Oiya berangkat ke moyo dari pelabuhan apa?
BalasHapus