Pernah berada di pemandian sorgawi?. Bila masih
berada di bumi tentu saja belum. Tapi semoga saya tak berlebihan bila menyebut
Kalibiru Raja Ampat sebagai pemandian sorgawi yang jatuh ke bumi. Emang
udah liat wujud pemandian sorgawi?, hhmm,
belum sih, tapi baiknya, simak dulu kisah saya dan teman-teman yang tandang
ke Kalibiru Raja Ampat.
***
…”pukul 3 belum datang, lanjut sudah ke Kali
Biru”… bisik kak Stephy pada saya siang itu. Yang
kak Stephy maksud ‘belum datang’, adalah pejabat yang nantinya akan membuka acara
ceremonial yang masih berkaitan dengan gelaran Festival Geopark Raja Ampat yang
sebelumnya terjadi di kawasan WTC (Waisai Torang Cinta). Saya dan teman-teman tiba 2 jam lebih awal di
tempat acara. Saking awalnya, kami sempat ngaso
di masjid, melaksanakan dzuhur sampai saya sempat merebahkan badan dan terlelap
sesaat. Kami memutuskan melihat lebih
dekat lapangan tempat berlangsungnya acara. Sekumpulan anak yang sedang bersiap
menjadi penampil mencuri perhatian kami. Tampilan busana dan hiasan wajah mereka
begitu kontras dengan senyum manis nan polos yang mereka pertunjukkan pada
kami. Jadilah saya dan rekan-rekan mengabadikan adik-adik penari dari beragam
sisi sampai ikut photo bersama mereka.
Masih dalam rangka mengisi waktu sebelum
pejabat datang, kak Dinasty mengajak kami mendatangi air terjun Warengkris.
Selayaknya wujud air terjun, saya fikir letaknya cukup jauh dan mesti tracking. Ternyata letaknya tak jauh dari
jarak kami bercengkrama dengan para penari cilik tadi. Bahkan wujud air
terjunnya telah terlihat jelas. Kami pun mendekat dan mengabadikan air terjun
lebih dekat meski wujudnya kurang maksimal karena volume air yang tak terlampau
deras.
Pak Samuel (berkaus Hijau) dengan Kapal Kayu yang akan membawa kami dari dermaga kampung Warsambih ke Kalibiru |
USAHA
MENDATANGI PEMANDIAN SORGAWI
Kak Stephy mengarahkan Kak Dinasty untuk membawa
kami berkendara dari kawasan Warengkris menuju kampung Warsambi. Pejabat yang
dijadwalkan membuka acara tak kunjung tiba. Cukuplah kami puas dengan
mengabadikan diri bersama para penari cilik. -Kasihan penari cilik itu menunggu
pejabat yang super telat. #catet!.
Usai berkendara sekitar 40 menit, Kak Dinasty
menghentikan kendaraan di jalan raya yang dekat dengan hunian warga dan
bentangan danau Mayalibit sebagai pesonanya. Kontan saya berdecak kagum ketika
melihat hamparan danau yang sungguh memukau. “ini yang dimaksud Kalibiru?”
tanya saya. “Bukan. Kita akan
menyeberangi danau ini dahulu, baru tiba di Kalibiru.” jawab kak Dinasty.
Rupanya, menuju lokasi Kalibiru, wajib
menyeberangi danau Mayalibit, lalu bertemu aliran sungai Worabiyai, lanjut tracking di bibir sungai Worabiyai,
barulah tiba di kawasan danau Kalibiru. Begitu penjelasan pak Samuel – juru
kemudi kapal kayu yang kami naiki. Dan
untuk ke Kalibiru, pengunjung wajib menyewa kapal nelayan di kampung Warsambih.
Rp. 500.000 per kapal (PP) untuk isi maksimum 6 sampai 8 orang. Jujur saja, ada rasa takut pada diri saya
ketika tahu bahwa untuk menyeberangi danau Mayalibit kami harus menaiki perahu
kayu nelayan bermesin kecil. Tak ada life
jacket dalam perahu. Mata saya sempat beradu lirik dengan mba Donna.
“cerita perjalanan kita sungguh kenyang dengan segala jenis air ya, Ndra?!” seloroh mba Donna yang saya
sahut dengan anggukan dan terbahak. Meski begitu, saya merasa nyaman saat duduk
di sebuah perahu kayu yang hanya cukup untuk seukuran badan, tanpa ada rongga
untuk bergerak itu. Sudahlah. Yakin saja sang Pencipta berpihak pada saya dan
rekan-rekan sore itu.
wajah happy bercampur was was mengarungi danau Mayalibit |
saya yang sok tegar duduk di ujung kapal kayu - photo by Shinta |
Seperti biasa, untuk menghilangkan rasa was-was
dalam pelayaran saya bergumam menyenandungkan lagu-lagu yang mengandung
semangat. Sebagai orang yang tak bisa
berenang dan cenderung parno dengan kedalaman air, saya selalu punya cara untuk
menenangkan diri sendiri, yakni dengan bernyanyi lagu-lagu yang liriknya
menyemangati sembari melayangkan pandangan ke pepohonan dan langit biru.
Kapal kayu yang kami tumpangi berhenti di
tepi sungai setelah lebih kurang 20 menit mengarungi danau yang menyajikan
bentangan keindahan. Kami pun bergegas
mengikuti langkah kaki pak Samuel. Melalui bebatuan kecil di tepi sungai hingga
jalan setapak. Kicauan burung gagak menghias suasana langkah beriringan kami sore
itu.
pak Samuel membawa kami menyusuri sungai untuk menuju titik Kalibiru |
lalu melintasi sungai dangkal |
lalu jalan setapak |
tiba di bagian depan Kalibiru dengan Fasilitas bersantai untuk pengunjung |
Hamparan Kalibiru sungguh memesona mata kala
pertama melihatnya. Hasrat untuk merasakan air Kalibiru pun tak terbendung. Aliran
air sungai jernih berwarna toska yang berasal dari mata air desa Warsambin,
pulau Waigeo itu mengundang keinginan saya untuk menjajalnya. Meski tak pandai
berenang, tapi cukuplah saya mengukur diri untuk setidaknya mampu menyeberangi
bagian sungai yang dalam menuju bagian yang lebih dangkal. Sebelumnya, saya
mengingatkan kak Dinasty untuk bersiap menolong saya bila saya tak mampu sampai
ke tepian sisi sungai, hahaha. #demipostingansosmed.
Menurut pak Samuel, biru toska Kalibiru yang
terlihat dipermukaan itu merupakan daya tarik utama kawasan Kalibiru sekaligus
sesuatu yang wajib dijaga. Itulah mengapa ada larangan tertulis bagi pengunjung
untuk tidak tandang pada sumber mata air Kalibiru yang terletak di bagian atas
dari kawasan kami berada. “Kalibiru sudah banyak dikunjungi, meski menuju
kesini cukup sulit” terang pak Samuel. Bahkan saat ini, biaya kapal untuk
menyeberangi danau Mayalibit terbilang murah dibanding saat pertama Kalibiru
jadi spot kunjungan. “dulu, biaya kapal bisa sampai 1 hingga 1,5 juta rupiah”
terang pak Samuel. Itulah sebabnya, pak Samuel berharap siapapun yang datang
tetap menjaga aturan-aturan lokal yang berlaku. Salah satunya tidak mendatangi
atau merusak sumber mata air dari Kalibiru. “untuk menjaga warna air tetap
biru, maka dilarang berenang di bagian sumber air” terang pak Samuel.
DRAMA
KEPULANGAN YANG MENDEBARKAN
Pesona Kalibiru membius kami lupa waktu sore
itu. Pepohonan rimbun disekitaran Kalibiru semakin pekat. Cuaca beranjak gelap.
Kami pun memutuskan untuk kembali ke sisi sungai dimana perahu kayu tertambat
usai puas mengabadikan diri di Kalibiru dari beragam sisi. “nanti di tengah danau kita ambil gambar
sebentar ya?, ajak Panji yang telah mengatur drone miliknya. Beberapa kali saat
kami sedang berjalan menyisir sungai, Panji telah dengan sigap mengoperasikan
drone. Rute kembali memang terasa lebih
cepat karena kami lebih bergegas. Takut segera turun hujan dan hari semakin
gelap. Saya dan rekan-rekan sempat cemas
ketika mesin kapal kayu yang kami tumpangi mendadak mogok. Untungnya mesin
kembali hidup setelah beberapa kali pak Samuel berusaha memacu ulang si mesin
kapal. Tapi ternyata drama perjalanan pulang dari Kalibiru tak berhenti sampai
disitu. Drone yang telah di tata sedemikian rua mengambil gambar kami
menyeberangi danau ternyata mengalami kesulitan mendarat. Alhasil, kapal yang
kami tumpangi harus memelankan mesin sedangkan butuh sekitar 20 menit untuk
menyesuaikan mesin drone agar berhenti tepat di titik kapal kayu dimana posisi
kami berada. Panji dan Rizal tampak bergantian mengulurkan tangan agar si Drone
berhenti di bagian dalam kapal. Sementara Shinta, Imelda dan mba Donna juga
sesekali membantu, meski tak membuahkan hasil apapun. Saya?. Diam saja! apa
yang bisa saya lakukan?!. Kalaupun tak berhasil menangkap Drone, kan bisa-bisa
saya yang jatuh ke danau!. Saya kan gak bisa berenang?! Wkwkwkw.
Sungguh kisah perjalanan bersama rekan petualang
dan Kamar Raja Homestay yang seru. Banyak kisah tercipta. Terlebih mendatangi
Kalibiru yang merupakan spot menarik di Raja Ampat selain pesona kawasan
baharinya. Oh, ia, sebenarnya, tak hanya Kalibiru yang dapat dikunjungi. Bila
ada waktu,pengunjung dapat singgah di Goa Guy yang juga terletak di bagian
barat Teluk Mayalibit. Konon menurut pak Samuel, tampilan Stalaktit, Stalakmit
dan Flowstone nya memukau. Sayang waktu kami tak banyak. Senja semakin
bergerak. Semoga ada kesempatan bagi saya untuk kembali tandang ke Mayalibit. Amin.
Keren warna biru tosqa airnya 👍
BalasHapusCakep betul buat renang-renang ya ...
Namanya sama persis dengan salah satu lokasi wisata di Kulon Progo.
Warna air biru tosqanya mirip dengan palung air terjun sungai mudal, air trjun kedung pedut ..., juga di Kulon Progo.
yes mas, namanya sama dengan beberapa kawasan di pulau jawa gitu...tapi tetap saja pesonanya mengagumkan.
HapusMasih sangat alami,
BalasHapusOalaaah. Kalibirunya bikin ngiler pengen nyebuuuur . Cerita drama di akhir gak apa2. Biar Ada tambahan cerita di blog ya kaan
BalasHapusbetul mengagumkan
BalasHapuscantik banget warna airnya, jadi pengen kesana banget ini huhu.
BalasHapusAir biru kristal itu sangat menawan. Beruntung ya ini ada di Indonesia Walau lokasinya jauh di Papua sana Minimal kita tidak perlu paspor untuk sampai ke sini
BalasHapuscakep bener kak, warnanya benar-benar biru gitu ya
BalasHapusKupikir birunya karna efek filter IG. Ternyata emang asli biru yaa. Apalagi terpapar cahaya matahari gitu
BalasHapus