…”ada
kapal warga yang akan antar kita ke Waisai…” jelas kak Amir sore itu pada saya.
Tenanglah hati ini. Amanlah rencana saya dan rekan-rekan yang akan bertolak ke Waisai sore itu.
Ceritanya, usai sesi Refleksi Kelas Inspirasi Raja Ampat di desa Yenbuba, saya dan beberapa rekan memisahkan diri dengan seluruh rombongan. Yang lain menuju Arborek sebelum keesokan hari menuju Piaynemo. Sementara group saya menuju Waisai untuk menjadi bagian dari Festival Geopark Raja Ampat keesokkan hari.
Tenanglah hati ini. Amanlah rencana saya dan rekan-rekan yang akan bertolak ke Waisai sore itu.
Ceritanya, usai sesi Refleksi Kelas Inspirasi Raja Ampat di desa Yenbuba, saya dan beberapa rekan memisahkan diri dengan seluruh rombongan. Yang lain menuju Arborek sebelum keesokan hari menuju Piaynemo. Sementara group saya menuju Waisai untuk menjadi bagian dari Festival Geopark Raja Ampat keesokkan hari.
Jadi,
saya, mba Donna, Shinta, Imelda, Panji dan Rizal bertolak ke Waisai bersama kak
Amir dan kak Armand sore itu. Langit semakin pekat. Kapal rombongan lain telah
lebih dulu meninggalkan dermaga pulau Yenbuba. Sedang kami masih menata barang
bawaan di kapal yang ukurannya sebatas bokong. Kapal yang kami tumpangi, adalah
kapal jenis fiber tanpa atap bahkan tanpa life jacket. Nyawa telah saya
titipkan pada Rizal, Panji, kak Amir, kak Armand yang saya tahu mampu berenang.
Selebihnya mengandalkan do’a. Seperti ragam kisah pelayaran sebelumnya. Tuhan
senantiasa bermurahhati mengakhiri pelayaran dengan tetap bernafas lega.
Saya,
mba Donna dan Shinta duduk pada bilah kayu yang sama dalam kapal kecil
tersebut. Kak Armand berada di depan kami. Sementara Kak Amir, Rizal, Panji dan
Imelda menempati bilah kayu di bagian belakang, dekat dengan juru kemudi dan
mesin kapal. Jarak kami terpisah oleh barang bawaan yang telah ditutup rapat
dengan terpal. Setidaknya barang berharga aman tak tersentuh air. Meski tetap
saja dalam kondisi berbahaya bila kelak kapal karam. Satu-satunya hiburan yang
menyenangkan mata saya adalah sosok kecil yang berada tepat di bagian depan
kapal. Bocah berusia 10 tahun itu adalah
putera dari juru kemudi kapal yang kami tumpangi. Yang menarik, si bocah tak hanya
sekedar menumpang kapal bersama kami. Ia
berperan mengarahkan kemudi kapal berdasarkan gelombang laut yang semakin ceria
menyapa.
Kondisi kapal yang kami tumpangi. Yenbuba ke Waisai. Photo by kak Menas |
Beberapa
kali percikan ombak mulai mengenai tubuh kami. Si adik kecil memberikan aba-aba
pada Ayahnya yang semakin kencang mengatur kemudi kapal. Beberapa syair lagu
yang saya lantunkan guna menghilangkan rasa cemas lama-lama menghilang. Terkena gempuran ombak yang semakin kencang. Saking
kencangnya, air ombak menampar wajah!. Membasuh sekujur tubuh bahkan masuk
kedalam mulut saya kala beraksi menyanyi dengan nada-nada tinggi ala para
Diva!!. Percuma saya menghibur diri. Aksi
ombak tak lagi mengenali syair lagu yang saya dendangkan. Senja semakin
beranjak gelap. Pesona sunset pun tak
lagi nampak nyata diantara konsentrasi kami berdo’a agar pelayaran selamat.
Pelabuhan
Waisai berwujud nyata dihadapan. Setelah 1,5 jam menatap bentang lautan. Senja semakin pekat. Sinar bulan datang
perlahan. Sesekali saya beradu pandang dengan mba Donna. Seolah saling
mengetahui isi hati. ‘pengen cepet nyampek daratan!!!’ Berkali-kali Shinta
menyeka mata dibalik kacamata yang ia kenakan. Tak lagi nampak menarik bulu
mata lentik khas gadis metropolitan dibalik kacamata itu. Kondisi serupa
terjadi di bagian belakang kami. Kak Amir, Panji, Rizal, Imelda tak ubahnya
kucing masuk comberan. Basah kuyub!. Wajah mereka pun tak lagi sumringah. Meski
Imelda sesekali terlihat menyeka rambut panjangnya yang tak lagi mekar
mengembang. Hilanglah identitasnya sebagai gadis modern yang berkarier di
Singapura.
tiba di Waisai dengan wujud KUYUB!!!. tetep photo bareng pake Cheers!! |
Setiap
pelayaran menghasilkan kisah yang tak usai untuk dituturkan. Puluhan kali
rasanya menghadapi pelayaran dengan gempuran ombak yang dahsyat. Meski
setelahnya tak pernah ada kata jera untuk menjalani pelayaran di lain
kesempatan. Karena hidup bukan semata soal kisah perjalanan, tetapi sejauh apa
perjalanan menguatkan jiwa untuk mengarungi kehidupan mendatang. Dan hal
tersebut, selalu saya dapatkan.
mari naik Range Rover bak terbuka - berasa Miss Unvierse!!! |
Tak berlebihan
kiranya, ketika tiba selamat di pelabuhan Waisai, saya segera mengabadikan diri
bersama teman-teman pelayaran yang telah dengan berani menantang ombak dan
mengatasi rasa khawatir kami masing-masing.
Berangkat dari Yenbuba dengan penuh gaya, tiba di Waisai bagai kucing
habis berenang di empang!!. Basah total!!. Perjuangan selanjutnya adalah
beranjak dari kawasan pelabuhan, menggotong barang-barang bawaan, melewati
pasar malam yang ramai dengan kondisi badan kami yang basah kuyub!. Tak perlu kami fikirkan ketika beberapa pasang
mata mengamati. Tak ada pula yang
mengenal kami. Jika pun diantara kami ada yang terkenal, pastilah tak ada
seorang pun yang mengetahui. Untungnya,
momen berjalan dikeramaian sembari membawa barang-barang dengan tampilan kuyub itu
tidaklah lama. Karena moment berikutnya adalah, tertawa bersama saat menuju
rumah kak Amir dengan menaiki mobil bak terbuka!!. Berasa Miss Universe sedang
pawai diatas Range Rover atap terbuka!. Hobaah!!.
Ngetrip
bareng yok?!
KISAH SORE DI RAJA AMPAT, PELAYARAN BERKESAN YENBUBA - WAISAI
BalasHapusa.k.a
Pelayaran berserah jiwa dan raga pada yang maha esa
a.k.a
Pelayaran kucing kuyup...
Hahahaha....