Senja segera beranjak, ketika saya dan
rekan-rekan relawan dan panitia lokal Kelas Inspirasi Raja Ampat 1 tiba di desa
Sawinggrai. Gugusan pulau Sawinggrai
telah memesona mata saya jauh sebelum kapal yang kami tumpangi merapat ke
dermaga. Terlebih terlihat pelangi ganda dari kejauhan saat kami tiba di
dermaga desa Sawinggrai. Suasana asri langsung terasa kala pertama menginjakkan
kaki di bagian depan desa Sawinggrai.
Bibir pantai desa Sawinggrai yang landai dan asri |
Selama dalam pelayaran dari Waisai ke
Yenbuba, jelang briefing Kelas Inspirasi, Maya – selaku Panitia Lokal yang
mendampingi kami di desa Sawinggrai menuturkan beberapa hal berkenaan dengan desa Sawinggrai
pada saya. Jelang kedatangan ke Raja Ampat, saya tidak melakukan pencarian
informasi apapun soal desa Sawinggrai. Hal tersebut telah jadi budaya personal
saya. Karena terkadang, jadi orang yang
tak banyak tahu itu justru menguntungkan. Salah satunya adalah tidak
ber-ekspektasi tinggi terhadap tempat tujuan. Just enjoy every single moment aja!.
Sebagai panitia lokal yang mendampingi
kami, Maya, langsung mengarahkan kami ke sebuah rumah warga yang kelak akan
kami gunakan untuk tempat bermalam. Usai menata barang bawaan di dalam rumah
Mama Okta, kak Amir dan beberapa rekan mengusulkan untuk menghabiskan waktu
sore di dermaga. “kali aja bisa liat sunset”, ucap beberapa rekan. Meski awan
hitam nampak menggantung. Untuk sebuah kebersamaan, tentu saja saya dan
rekan-rekan menyambut gembira ajakan untuk bersantai di dermaga. Terlebih kak
Amir berniat menyeduh kopi di dermaga lengkap dengan perkakas penyeduh kopi
yang ia bawa. Aaahh.. sungguh
bahagianya sore itu. Suasana sore yang tenang di tepi dermaga. Pesisir pantai
nan landai semakin kontras dengan gumpalan awan menghitam. Beberapa anak desa
Sawinggrai lekas akrab kala menghampiri kami di dermaga sore itu. Terlebih mereka telah mengenal Maya yang tak
asing lagi. Sebagai mojang Bandung yang merantau ke Raja Ampat, Maya telah mengajar sukarela
di beberapa pulau di Raja Ampat sejak 3 tahun terakhir. Sungguh upaya yang mengagumkan dari sosok
Maya.
piawainya kak Amir meracik kopi sore itu |
kak Arief dan mba Okta yang ikut bercengkrama dengan anak anak desa Sawinggrai |
Meski cahaya senja kala itu tak sesuai harapan, tapi
kebersamaan kami dengan anak-anak desa Sawinggrai adalah sesuatu yang berharga.
Termasuk kopi racikan kak Amir yang terasa istimewa. Sungkan rasanya meninggalkan dermaga meski
suasana beranjak gelap dan rintik hujan mulai menghias hingga kemudian hujan
datang dengan deras. Alhasil, suasana malam kami gunakan untuk berdiskusi,
memantapkan rencana bertemu adik adik SD Sawinggrai esok hari. Tapi ada satu yang menyemangati untuk bangun
pagi ; Melihat Cendrawasih!.
LARANGAN BICARA DAN
MERDUNYA SUARA BURUNG CENDRAWASIH
Desa Sawinggrai yang terletak di
distrik Meos Mansar, kabupaten Raja Ampat, merupakan salah satu desa wisata dalam
kawasan Raja Ampat. Selain dihuni oleh 60 kepala keluarga, dalam kawasan desa Sawinggrai juga terdapat homestay dengan harga terjangkau. Yang menarik, dalam desa Sawinggrai terdapat anggrek khas
Papua dan habitat burung Cendrawasih. Tak heran bila kemudian burung
Cendrawasih menjadi ikon dari desa Sawinggrai. Konon, dalam kawasan hutan di
pulau Sawinggrai terdapat empat spesies Cendrawasih, yakni Cendrawasih Merah,
Cendrawasih Belah Rotan, Cendrawasih Kecil dan Cendrawasih Besar. Semalam, Maya telah mengatur rencana
kunjungan kami melihat Cendrawasih dengan menghubungi sang pemandu yang juga merupakan
tokoh adat desa Sawinggrai. Pak Yesaya
Mayor namanya. Menurut pak pemandu, pukul 6-8 pagi dan 4-6 sore adalah waktu
yang tepat untuk melihat wujud Cendrawasih.
Pukul 4.30 pagi kami bergegas
meninggalkan rumah dan menuju lokasi dimana kami akan melihat burung
Cendrawasih. Seperti anggota pramuka yang hendak cari jejak di pagi buta.
Setiap kami dengan sigap menyiapkan diri. Melangkahkah kaki sembari tersungut-sungut
dan memastikan mata telah terbuka. Untuk menyaksikan wujud burung Cendrawasih,
pengunjung wajib membayar 150 ribu
rupiah per orang, melalui Maya kami dapat potongan harga. Maka setiap kami
membayar sebesar 125 ribu per orang. Baiklah. Supaya tak mati penasaran dengan
wujud Cendrawasih, saya ikut saja!.
Wajah pak Pemandu |
Rombongan kami sempat berhenti sejenak
di depan kediaman sang pemandu. Ternyata bukan hanya rombongan kami. Terdapat
beberapa orang turis asing yang juga akan bersama-sama dengan kami menuju
lokasi burung Cendrawasih. Usai saling
sapa ala kadarnya, kami pun dengan cekatan mengikuti langkah sang pemandu.
Tak lupa, sang pemandu mengingatkan
kami untuk tidak berbincang mengeluarkan suara selama perjalanan, juga tidak
diperkenankan menyalakan ponsel karena suara yang gaduh dan sinar dari ponsel
akan membuat Cendrawasih enggan datang. Fix, itu artinya saya harus berdiam.
Tidak bersuara sama sekali dalam aktivitas ini termasuk bergumam apalagi
bernyanyi-nyanyi segala genre lagu. Oke sanggup!.
Kami melangkah menyusuri jalan
setapak. Melalui belakang hunian warga, areal perkebunan hingga menerabas hutan
belukar. Menurut informasi, butuh waktu
sekitar 40 menit hingga 1 jam berjalan kaki. Saya pribadi sangat bersemangat
mengikuti langkah pemandu yang tepat berada di depan saya. Para turis asing
berada di depan pemandu. Di belakang saya ada kak Kent – sang Pilot, dan
rekan-rekan lain yang berjalan beriringan.
Selang belasan menit, langkah kaki
terasa menanjak. Mengikuti alur perbukitan terjal bebatuan. Di beberapa bagian
terasa akar-akar pohon yang mencengkram kuat di bebatuan. “kenapa sih, akar-akar
ini pada keluar begini ?”, tanya saya ketika beberapa kali pijakan kaki
terhalang akar-akar yang berada di permukaan bebatuan. “Diam!!!. Jangan
bersuara, Cendrawasih tidak datang nanti!” pak Pemandu berujar dan membelalak
kearah saya. Sontak saya kaget. Padahal maksud hati cuma mau bergumam untuk
diri sendiri. Tapi memang volume gumaman saya tergolong keras untuk kondisi
hutan yang senyap pagi itu. Untuk ukuran
saya, emang PR banget rasanya berdiam diri. Semua dilakoni demi melihat wujud Cendrawasih!.
wajah wajah mengharap kedatangan Cendrawasih - photo by kang Ahmad |
Usai rute menanjak, pemandu memberi
isyarat berhenti pada kami. Suasana hening. Tak ada yang berbincang diantara
kami. Meski terdengar bisik-bisik satu sama lain. Aneh nya si pemandu tidak
melarang ketika para bule’ bule’ itu melakukan semacam diskusi. Hhmm… bisa jadi
pemandunya tak bisa menghardik dalam bahasa inggris kali yaa… bisa jadi!. Saya dan rombongan semakin antusias ketika
suara suara yang di yakini pemandu sebagai suara Cendrawasih semakin mendekat.
Satu persatu wajah kami nampak antusias. Kak Arief sempat melangkah maju untuk
merekam suara Cendrawasih. Para bule bule juga mulai bersiap dengan kamera dan
lensa laras panjang yang bikin down kami yang hanya bermodal kamera moroles dan
kamera ponsel.
melenggang pulang usai melihat sekelebat wujud Cendrawasih - photo by Heydar |
Penantian panjang pun berakhir dengan
wujud Cendrawasih yang datang hinggap di dahan pohon. Sesaat ia terlihat
menoleh kiri dan kanan sebelum akhirnya bergerak lincah dan pindah arah.
Terlihat jelas bulu merahnya mengibas sebelum ia menghilang dari pandangan. Saya dan rekan rekan berpandangan …” gitu
doang?” tanya saya pada rekan-rekan dikiri dan kanan. “siapa tau datang lagi
yang lain”, sahut rekan. Kami pun mulai
mendongak. Berharap ada Cendrawasih beraksi. Menari-nari bagai tayangan di Youtube.
Meski kemudian harapan kami tak terjadi. Sementara diantara kami mulai
mengingatkan kewajiban mengajar di SD Sawinggrai. Jelang pukul 7 pagi.
Cendrawasih pun tak lagi mendatangi kami. Bisa jadi ia tahu kami ramai
sekali. Sang pemandu mengarahkan kami ke
posisi lain yang juga merupakan titik pandang Cendrawasih. Meski saya dan
beberapa rekan sempat mencoba tapi kemudian kami sepakat untuk kembali ke rumah
karena harus bersiap untuk gelaran Kelas Inspirasi.
Wujud seekor Cendrawasih cukuplah
menghibur saya pagi itu. Dengan usaha bangun super pagi, berjalan menyusuri
hutan di pagi buta, di hardik pemandu karena sempat berucap dalam perjalanan.
Berharap menyaksikan banyak Cendrawasih menari-nari. Setidaknya, memori saya
merekam jelas celoteh merdu Cendrawasih. Entah apa maknanya, tapi paling tidak,
siapapun yang tidak sempat bertemu Cendrawasih nantinya, akan saya beri tahu
suaranya dahulu ; uwuk..uwuk..uwuk…
Waaa seru banget melihat Cendrawasih di habitat aslinya. Semoga saya pun suatu saat bisa melihat dengan mata kepala sendiri.. kalau lihat di Youtube cantik banget
BalasHapusbanged ..mbaaa..kece tu Cendrawasih, meski cuma lihat 1 tapi setidaknya udah liat langsung di habitatnya.
Hapus